Filologi di Kawasan Nusantara
Kawasan Nusantara terbagi dalam banyak kelompok etnis, yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa meninggalkan sifat kekhasan kebudayaan Nusantara. Kekayaan Nusantara akan naskah-naskah lama dibuktikan dengan jumlah koleksinya yang dewasa ini terdapat di berbagai pusat studi kebudayaan Timur pada umumnya.
Naskah Nusantara dan Para Pedagang Barat
Hasrat mengkaji naskah-naskah Nusantara mulai timbul dengan kehadiran bangsa Barat di kawasan ini pada abad ke-16. Pertama-tama yang mengetahui mengenai adanya naskah-naskah lama itu adalah para pedagang. Mereka menilai naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendatang-kan untung besar.
Pedagang tersebut mengumpulkan naskah-naskah itu dari perorangan atau dari tempat-tempat yang memiliki koleksi, seperti : pesantren atau kuil-kuil. Kemudian membawanya ke Eropa, menjualnya kepada perorangan atau kepada lembaga-lembaga yang telah memiliki koleksi naskah-naskah lama. Seorang yang dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Pieter Willamsz.
Di jaman VOC usaha mempelajari bahasa-bahasa Nusantara hampir terbatas pada bahasa Melayu, karena dengan bahasa Melayu mereka sudah dapat berhubungan dengan bangsa pribumi dan bangsa asing yang mengun-jungi kawasan ini, seperti : bangsa India, Cina, Arab dan Eropa lainnya.
Telaah Naskah Nusantara oleh Para Penginjil
Seorang penginjil yang terkenal yang menaruh minat kepada naskah-naskah Melayu adalah Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701). Pada tahun 1691 atas perintah Dewan Gereja Belanda, Leijdecker menyusun terjemahan Beibel dalam bahasa Melayu tinggi. Akan tetapi hingga sampai ajalnya, terjemahan itupun belum selesai maka lalu dilanjutkan oleh seorang penginjil lain bernama Petrus van den Vorm (1664-1731). Penginjil lain yang dikenal akrab dengan bahasa dan kesastraan Melayu adalah G.H. Werndly. Dalam karangannya berjudul Maleische Spraakunst, terbit pada tahun 1736 dalam lampirannya yang diberi nama Maleische Boekzaal, dia menyusun daftar naskah-naskah Melayu yang dikenalnya sebanyak 69 naskah.
Usaha pengajaran dan penyebaran alkitab lalu diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap. Akan tetapi berhubung dengan berbagai kesulitan, baru pada tahun 1814 lembaga ini dapat mengirim seorang peng-injil Protestan bernama C. Bruckner ke Indonesia dan ditempatkan di Semarang (Swellengrebel, 1974 : 13). Tugasnya adalah menyebarkan alkitab kepada masyarakat Jawa. Terjemahan alkitab Bruckner terbit pada tahun 1831 dalam huruf Jawa. Pada tahun 1842 terbitlah kamus Bruckner berjudul Een klein woordenboek der Hollandische, Engelsche an Javaanacha Talen.
Nederlandsche Bijbelgenootschap (seterusnya disingkat NBG) memiliki kegiatan penting dipandang dari sudut ilmu bahasa (Teeuw, 1973 : 16). Lembaga ini mengharuskan kepada penyiar dan penerjemah alkitab yang akan dikirim ke Indonesia memiliki pendidikan akademik. Dampak ketetapan ini adalah munculnya karangan-karangan ilmiah dari para penginjil mengenai bahasa, sastra dan kebudayaan Nusantara pada umumnya.
Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara
Kajian ahli filologi terhadap naskah-naskah Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisis isinya atau untuk kedua-duanya. Hasil suntingannya pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf aslinya, yaitu huruf Jawa, huruf Pegon atau huruf Jawi dengan disertai pengantar atau pen-dahuluan yang sangat singkat tanpa analisis isinya, misalnya suntingan Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900).
Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk transli-terasi dalam hurur Latin, misalnya Wrettasantjaja (1849), Ardjoena-Wiwaha (1850) dan Bomakawya (1950). Ketiga-tiganya naskah Jawa kuno oleh R. Th. A. Friederich dan Brata Joeda (1850) oleh Cohen Stuart. Suntingan naskah dengan disertai terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda, merupakan perkembangan filologi selanjutnya. Misalnya : Sang Hyang Kamahayanikan, Oud Javaansche tekst met inleiding, vertaling en aanteekeningan oleh J. Kats (1910) dan Arjuna-Wiwaha oleh Poerbatjaraka (1926).
Pada abad ke-20 muncul terbitan ulangan dari naskah yang pernah di-sunting sebelumnya dengan maksud untuk menyempurnakan, misalnya terbitan sebuah primbon Jawa dari abad ke-16, pertama-tama oleh Cunning (1881) dengan metode diplomatic. Kemudian pada tahun 1921 disunting oleh H. Kraenmer dengan judul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw, dan pada tahun 1954 diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drew dengan judul yang sama.
Pada abad ke-20 banyak diterbitkan naskah-naskah keagamaan baik naskah Melayu maupun naskah Jawa hingga kandungan isinya dapat dikaji oleh ahli filologi serta selanjutnya mereka menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut.
Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra (barat), misalnya analisis struktur dan minat terhadap naskah Hikayat Sri Rama dikerjakan oleh Achadiati Ikran berjudul Hikayat Sri Rama, Suntingan Naskah disertai Telaah Amanat dan Struktur (1980), berdasarkan analisis struktur dan fungsi terhadap teks Hikayat Hang Tuah dikerjakan oleh Sulastin Sutrisno berjudul Hikayat Hang Tuah.
Dengan telah dikenalinya dan tersedinya suntingan sejumlah naskah-naskah Nusantara, maka kemungkinan menyusun sejarah kesastraan Nusantara atau kesastraan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar