BAGAIMANA SASTRA JAWA KUNA DIAWETKAN
Teks-teks sastra Jawa Kuna yang sampai pada kita sekarang merupakan salinan yang sebagian besar diawetkan dan dipelihara di Bali. Bahan tulis yang dipakai ialah daun lontar (borassus flabelli-formis). Bentuk asli kata lontar yang mengalami metathesis ialah ron tal, ron ‘daun’ dan tal ‘pohon’. Dalam bahasa Bali Rendah menjadi ental, sedangkan bahasa Bali Tinggi menjadi rontal untuk menunjuk pohonnya.
Daun lontar pertama-tama dikeringkan, lalu direndam dalam air, diluruskan dan dijemur kembali. Daun tersebut lalu digosok dengan batu sampai kulitnya halus dan mengkilap. Di Bali daun lontar yang dilipat sepanjang tulangnya dan kedua belahan luar ditulis catatan singkat tak lebih dari 1 lembar disebut ěmbat-ěmbatan atau katihan. Daun yang lebih awet dan mudah disimpan dengan panjang 40-60 cm dan lebar 3-4 cm disebut lěmpiran. Buku dan kedua sampul yang dihasilkan disebut cakěpan. Kotak kayu yang digunakan untuk menyimpan buku disebut kropakan. Pisau kecil untuk membuat huruf-huruf pada daun lontar disebut pěngutik atau pěngrupak. Dengan pisau ini huruf-huruf digoreskan pada kulit daun lontar yang sudah menyerupai selembar kayu. Sesudah itu kulitnya dioles dengan minyak kemiri (tingkih) meresap ke dalam goresan-goresan yang telah dibuat oleh pӗngutik. Bila kulit kemudian dibersihkan cairan hitam itu tinggal di dalam goresan-goresan dan huruf-huruf tampil dengan jelas pada latar belakang yang berwarna coklat muda. Semua naskah sastra Jawa Kuna diawetkan seperti ini kecuali naskah Kuñjarakarna yang huruf-hurufnya dicat pada kulit daun lontar dengan semacam tinta hitam.
Tulisan-tulisan pada daun lontar tidak begitu awet tidak seperti pada prasasti atau lempengan kuningan. Itulah sebabnya kebanyakan naskah sastra Jawa Kuna paling lama hanya berusia 100-150 tahun. Semua karya yang berasal dari Jawa diawetkan di Bali dan semua salinan Bali itu ditulis di atas bahan dari Bali dan dengan huruf Bali pula. Prasasti tertua ditulis dengan huruf India, bagian terbesar dengan huruf Pallawa, sedangkan sejumlah kecil dengan huruf Pra-nāgarῑ, biarpun mungkin istilah Siddhamatṛka lebih tepat. Sejak tahun 832 muncul tulisan lain yang dipengaruhi tulisan India namun memiliki sifat khas yang tidak ditemukan di luar Jawa. Bentuk tulisan itu disebut tulisan Jawa Kuna dan lambat laun menggantikan semua bentuk huruf lainnya dan tetap dipergunakan di Jawa sampai akhir zaman Hindu Budha. Di lain pihak, kita temukan bahwa tulisan Jawa dan Bali berbeda dengan tulisan Jawa Kuna. Tulisan Bali bisa dikatakan hanya merupakan varian dari tulisan Jawa. Tulisan Bali dan Jawa Modern berpangkal pada sumber yang sama, semacam bentuk tulisan yang telah dipakai di Jawa sebelum hubungan antara Jawa dengan Bali terputus.
Seperti orang Jawa, bila ia berbicara mengenai masa silam sebelum kedatangan agama islam, ia memakai istilah jaman buda atau masa jayanya zaman Budha, demikian pulalah istilah ini juga mereka pergunakan untuk menunjuk tulisan huruf Jawa Kuna. Namun bentuk tulisan itu tidak identik dengan bentuk-bentuk huruf pada prasasti. Pada akhir zaman Hindu-Jawa terdapat sejumlah besar naskah bukan prasasti yang ditulis dengan huruf Jawa Kuna. Di lain pihak, di pulau Bali naskah-naskah kuno yang dibawa ke sana dari Jawa dan yang harus disalin kembali agar dapat diawetkan, pada salah satu tahap dalam proses itu dialihkan ke bentuk tulisan huruf Bali modern. Kumpulan naskah sastra Jawa Kuna dan pertengahan yang kini disimpan di berbagai perpustakaan semuanya berasal dari Bali. Terdapat tiga koleksi utama yaitu di Perpustakaan Nasional di Jakarta (Bataviaas Genootschap van Kunsten en Wetenschappen), di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda dan di Perpustakaan Kirtya di Singaraja (perpustakaan Kirtya Liefrinck-van der Tuuk). Perpustakaan Leiden menduduki tempat pertama koleksi terbanyak khusus karena koleksi lontar dari Lombok dan koleksi warisan dari H.N van der Tuuk. Di Kirtya memiliki keanekaan yang lebih besar mengenai karya sastra Jawa Kuna dan Pertengahan, tetapi umumnya hanya satu salinan setiap karya. Yang dipegang sebagai pedoman umum (tentu saja ada perkecualian) dalam menyalin naskah yakni andaikata ada beberapa naskah dari karya yang sama, hanya naskah yang dianggap terbaik yang disalin. Tujuan pendiri perpustakaan Kirtya adalah membuka kesempatan yang lebih besar bagi orang Bali sendiri untuk menimba dari harta kebudayaannya. Hanya sedikit sekali teks sastra kakawin yang terdapat entah di perpustakaan Leiden atau Jakarta atau dalam kedua-duanya, dan yang salinannya juga tidak terdapat dalam perpustakaan Kirtya dan sejumlah besar kakawin, khususnya yang lebih muda hanya terdapat dalam koleksi Kirtya. Memugar kembali bentuk asli itu sejauh itu mungkin merupakan salah satu tugas utama filologi Jawa Kuna.
Sastra Jawa Kuna tidak bisa bertahan karena bila pada suatu titik dalam sejarah minat terhadap salah satu jenis kesusastraan lenyap sehingga orang-orang pada zaman itu tidak lagi melihat alasan yang kuat untuk menyalin naskah tersebut. Selain itu ada karya-karya yang memang disukai tetapi secara kebetulan tidak dimasukkan ke dalam koleksi yang semi-resmi atau dianggap kurang berbobot untuk diawetkan. Mengenai sastra Jawa Pertengahan, dalam kronik-kronik Bali disebut nama–nama sejumlah kidung yang kini tidak kita miliki lagi dan rupanya sudah hilang. Dalam hal penyalinan naskah terdapat kekurangan dan kesalahan dalam membaca dan menulis kembali teks asli tetapi ini tidak dapat dihindarkan dan semua juru salin di semua negara dan pada setiap abad membuktikan, bahwa mereka juga manusia dan bahwa hasil karya mereka tidak sempurna. Semua jenis kesalahan yang disebut dalam ulasan-ulasan mengenai tema ini – lipografi (dihilangkan sebagian dari teks), haplografi (menulis satu kali yang seharusnya ditulis dua kali) dan segala macam kesalahan lain yang dicatat menurut logat internasional para ahli filologi dapat diterangkan dengan contoh-contoh dari naskah-naskah Jawa.
Para sarjana yang meneliti sastra Jawa Kuna antara lain R. Friederich, H. Kern, H.N van der Tuuk, J.G.H Gunning. Para sarjana yang pernah menerbitkan kembali teks-teks Jawa Kuna antara lain J. Brandes (Nāgarakṛtāgama, Pararaton), H.H Juynboll (ādiparwa, Wirāţaparwa), J.Kats (Sang Hyang Kamahāyanikan), Th. Pigeud (Tantu Panggӗlaran, Nāgarakṛtāgama), R.Ng. Poerbatjaraka (Arjunawiwāha, Calon Arang, Smaradahana, Nītiśāstra, Dewaruci, Nirartha Prakṛta), C.C Berg (Kidung Sunda, Kidung Sundāyana, Kidung Harsawijaya, Rangga Lawe), C.Hooykaas (Tantri Kāmandaka), J.Gonda (Brahmāṇḍapurāna, Agastyaparwa, Bhῑṣmaparwa), Prijohoetomo (Nawaruci), A.Fokker (Wirāţaparwa), E. Van den Berg (Sorāndaka), Prijono (Sri Tañjung), A.Teuw (Hariwangśa), A.Teuw dkk (Śiwarātrikalpa), S.Robson (Wangbang Wideya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar