BAHASA JAWA KUNA DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSASTRAAN
Bahasa Jawa Kuno dari abad ke-9 merupakan bentuk tertua Bahasa Jawa yang dalam perkrmbangan waktu mengalami banyak perubahan. Semua dapat kita lihat bila kita membandingkan berbagai karya sastra. Bila kita membandingkan sebuah karya dari abad ke-11, seperti misalnya Arjunawiwāha, dengan salah satu karya akhir abad ke-15, seperti misalnya Śiwarātrikalpa (Lubdhaka). Dalam hal fonetik hampir tidak ada perubahan, perbedaan gramatikal hanya sedikit dan tanpa arti. Maka dari itu, bila kita menamakan sastra abad ke-11 sastra Jawa Kuno, tak ada alasan yang meyakinkan untuk tidak memberikan nama itu kepada karya-karya sastra dari abad ke-15. Namun bila kita membandingkan kedua kakawin yang tersebut di atas dengan sebuah syair yang lain jenisnya, seperti misalnya Kidung Sunda, perbedaan bahasa seketika menonjol. Sering muncul pasangan-pasangan varian, akibat perubahan fonetis. Kita masih memiliki sejumlah karya sastra yang bahasanya mempelihatkan ciri-ciri yang sama seperti tampak di atas tadi, berhubung karyanya pasti ditulis lebih kemudian daripada kakawin-kakawin dari periode klasik yang lebih dahulu, maka pada bentuk bahasa Jawa yang lebih muda itu, diberi nama Bahasa Jawa Pertengahan. Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Modern. Dalam sastra Jawa Kuno terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain terutama karena metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Yang pertama menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum-metrum asli Jawa atau Indonesia. Dalam bahasanya pun terdapat suatu perbedaan, dalam kakawin dipakai bahasa Jawa Kuno, sedangkan dalam kidung dipakai Jawa Pertengahan. Namun di samping puisi kakawin terdapat juga prosa yang memperlihatkan semua ciri khas bahasa yang dipakai kidung. Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan seoleh-olah menggambarkan suatu perbedaan menurut waktu, seakan-akan Jawa Pertengahan berkembang dari Jawa Kuno. Ini memperkuat kepercayaan bahwa sejarah sastra Jawa jaman dahulu dapat dibagi dalam dura periode, yaitu periode Jawa Kuno den periode Jawa Pertengahan. Sebuah karya yang jelas ditulis dalam Jawa Kuno biasanya dianggap lebih tua daripada karya yang ditulis dalam Bahasa Jawa Pertengahan, dan kaidah ini berguna untuk menyusun suatu kronologi, walaupun relatif. Bahasa seringkali merupakan landasan rapuh untuk menyusun suatu kronologi, dan istilah Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan menjanjikan lebih banyak daripada apa yang dapat diberikan.
Kebanyakan sastra Jawa Kuno kita tidak dapat menentukan kapankarya tersebut ditulis, tetapi mengenai beberapa kakawin kita mempunyai alasan yang kuat untuk menentukan kapan kakawin itu ditulis. Tanggal itu dapat diperkirakan bila kita mempunyai prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang sama. Kesulitan bila kita ingin menentukan tanggal penulisan sebuah karya antara lain adalah; menentukan tanggal sangat bergantung pada cara nama raja ditafsirkan, kemudian mencari dan melihat perbedaan linguistis antara kakawin-kakawin dari periode-periode yang berbeda-beda. Namun walaupun kita dapat melihat perbedaan linguistis dan dapat menafsirkan nama raja yang sama, kita masih tidak dapat menentukan waktu karena kakawin sifatnya sangat tradisional. Jelaslah sastra kakawin tidak dapat dikatakan mencerminkan bahasa pada jamannya kerena bahasa kakawin di contek dan dijiplak semirip mungkin dengan aslinya dan itu terjadi dari beberapa abad. Bahkan di Bali ada tradisi lokal menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan abad ke-19.
Jika kita hanya bersandar pada bahasa, kita mungkin akan mengira bahwa sebuah karya jaman Renaissance dengan gaya ala Cicero, ditulis jauh lebih dahulu daripada sebuah karya sejenis periode Latin Arab Pertengahan. Dapat disimpulkan bahwa kurun waktu yang menghasilkan sastra kakawindapat ditulis di Bali, tetapi perlu dicatat bahwa jarang kita temui ungkapan khas Bali. Dalam Jawa Pertengahan, rintangan untuk mengetahui waktu penulisan suatukarya lebih terasa daripada Jawa Kuno.
Bila kita ingin secara garis besar menyusun suatu kronologi bagi sastra kidung, kita terpaksa tidak dapat mengandalkan beberapa patokan yang dalam hal kakawin kadang membuka celah kepastian yang sangat berharga. Di sini kita hanya dapat berpedoman pada bahasanya dan tidak ada satu tanggal pun yang bertalian dengan bentuk bahasa seperti dipakai dalam suatu karya sastra tertentu. Dengan demikian kita hanya dapat bersandar pada beberapa kesan umum saja. Karena pertalian dengan Jawa Kuno menjadi makin renggang, maka bertambah juga bentuk-bentuk gramatikal dan morfologis yang menyimpang dan tidak konsisten, bahkan terdapat ungkapan-ungkapan yang jelas merupakan Balinisme. Itu semua menunjukkan bahwa Jawa Pertengahan meneruskan perjalanannya sendiri dan bahwa jurang yang memisahkan periode Hindu-Jawa di Jawa dari periode Bali yang mengalami Jawanisasi menjadi lebih lebar. Beberapa kakawin dalam Jawa Kuno mungkin lebih muda daripada beberapa kidung dari Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan berdasarkan karya-karya yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali. Namun tidak berarti bahwa puisi kidung mulai ditulis di Bali dan tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit. Maka keberatan utama mengenai istilah Jawa Pertengahan adalah bahwa istilah ini memberi gambaran seolah-olah merupakan suatu bentuk peralihan, semacam jembatan antara Jawa Kuno dan Jawa modern. Dan seperti telah kita lihat kesimpulan tersebut tidak tepat. Bahasa ini dipakai dalam kalangan kraton-kraton di Bali dan untuk sebagian besar ditulis pada suatu waktu ketika hubungan dengan Pulau Jawa praktis terputus, kecuali daerah keci di Jawa Timur di tempat kebudayaan Hindu-Jawa masih dapat bertahan untuk sementara waktu. Tidak masuk akal bahwa bahasa sastra yang waktu itu digunakan di Bali menjadi jembatan antara Jawa Kuno dengan Jawa Modern.
Istilah Jawa Modern puu agak membingungkan. Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjuk bahasa yang dipakai dalam Sastra Jawa pada jaman para pujangga (akhir ababd ke-18 atau awal abad ke-19) dan yang tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam puisi Jawa sekarang atau bahasa yang dituturkan di Yogyakarta atau Surakarta dan umumnya diakui sebagai patokan bahasa Jawa halus. Namun banyak sifatnya yang khas kita jumpai jauh lebih dulu. Kita mempunyai dua karya prosa berupa ulasan mengenai agama Islam dan yang mungkin sekali berasal dari daerah pantai utara Jawa. Naskah itu dibawa ke Eropa dan dihadiahkan kepada Universitas Leiden pada tahun 1597. Dengan demikian karya ini, mungkin juga yang lainnya dapat ditentukan berasal dari abad ke-16.
Penelitian kita yang didorong oleh nafsu ingin tahu, menghasilkan suatu kesimpulan yang cukup mengherankan, yaitu; pada saat yang sama, ialah abad ke-16 terdapat Bahasa Jawa Kuno seperti kita jumpai dalam sastra kakawin yang ditulis di Bali berdampingan dengan Jawa Pertengahan seperti nampak dalam sastra kidung di Bali serta Jawa Modern seperti terdapat dalam kedua karya tentang agama Islam. Gaya-gaya regional dalam hal penuturan merupakan suatu faktor penentu dalam pembentukan Jawa Modern, seperti misalnya bahasa daerah pesisir mempengaruhi sastra Islam awal, sedangkan tutur di Jawa Tengah merupakan faktor utama dalam mewujudkan apa yang menjadi bentuk baku bagi Jawa Modern. Suatu ukuran sederhana yang membantu kita untuk mengenal Jawa Modern ialah frekuensi dipergunakannya kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.
Keterangan tersebut di atas mengenai terjadinya tiga bentuk bahasa Jawa tidak dapat diterima, karena itu berarti Jawa Pertengahan dan Jawa Modern, dua cabang Jawa Kuno, berkembang dan memperoleh sifat-sifatnya yang khas setelah terpisah dari Jawa Kuno dan lepas satu dan lainnya. Namun suatu penelitian komparatif tidak membenarkan hipotesis tadi.
Dalam pengandaian Jawa Pertengahan dan Jawa Modern baru mulai dibentuk sejak kesatuan dalam kebudayaan Jawa terpecah, maka hanya terbuka dua kemungkinan. Atau keserasian antara kedua bentuk bahasa Jawa itu hanya kebetulan saja terjadi atau yang satu meminjam kata itu dari yang lain. Tetapi melihat jumlah kata yang mirip satu dan lainnya cukup banyak, maka keterangan terakhir tadi hanya dapat dipertahankan jikaantara kedua bentuk linguistis itu terdapat hubungan dan pengaruh timbal balik yang lebih erat. Karena alasan ini hipotesis seoleh-oleh ada dua cabang yang sama sekali terpisah sebaiknya dikesampingkan. Satu-satunya alternatif yang ada adalah sifat-sifat yang dimiki bersama oleh Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Jawa Pertengahan sudah terdapat di pulau Jawa sebelum, dan mungkin jauh sebelum kekuasaan politik Hindu-Jawa lenyap. Jawa Pertengahan digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan jelas berbeda dari bahasa kakawin. Bahasa Jawa Pertengahan merupakan bahasa yang umum dipakai di Jawa semenjak akhir abad ke-10 menurut penanggalan saka, yaitu pada tahun 978-1078. Ini berarti seluruh sastra kakawin kecuali Rāmāyaṇa, ditulis dalam suatu bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Pada periode Hindu-Jawa terdapat suatu bentuk bahasa Jawa yang berbeda dari Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam kakawin dan juga dalam sastra prosa. Bahasa Jawa nonsastra itu tidak harus bersifat sergam. Bahkan bahasa itu memperlihatkan variasi-variasi regional maupun sosial. Kita memiliki berbagai karya prosa yang karena penyimpangannya dari bahasa Jawa Kuno yang baku memberi kesan seolah-olah ditulis pada suatu masa yang lebih dekat pada kita.
Kebanyakan sastra Jawa Kuno kita tidak dapat menentukan kapankarya tersebut ditulis, tetapi mengenai beberapa kakawin kita mempunyai alasan yang kuat untuk menentukan kapan kakawin itu ditulis. Tanggal itu dapat diperkirakan bila kita mempunyai prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang sama. Kesulitan bila kita ingin menentukan tanggal penulisan sebuah karya antara lain adalah; menentukan tanggal sangat bergantung pada cara nama raja ditafsirkan, kemudian mencari dan melihat perbedaan linguistis antara kakawin-kakawin dari periode-periode yang berbeda-beda. Namun walaupun kita dapat melihat perbedaan linguistis dan dapat menafsirkan nama raja yang sama, kita masih tidak dapat menentukan waktu karena kakawin sifatnya sangat tradisional. Jelaslah sastra kakawin tidak dapat dikatakan mencerminkan bahasa pada jamannya kerena bahasa kakawin di contek dan dijiplak semirip mungkin dengan aslinya dan itu terjadi dari beberapa abad. Bahkan di Bali ada tradisi lokal menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan abad ke-19.
Jika kita hanya bersandar pada bahasa, kita mungkin akan mengira bahwa sebuah karya jaman Renaissance dengan gaya ala Cicero, ditulis jauh lebih dahulu daripada sebuah karya sejenis periode Latin Arab Pertengahan. Dapat disimpulkan bahwa kurun waktu yang menghasilkan sastra kakawindapat ditulis di Bali, tetapi perlu dicatat bahwa jarang kita temui ungkapan khas Bali. Dalam Jawa Pertengahan, rintangan untuk mengetahui waktu penulisan suatukarya lebih terasa daripada Jawa Kuno.
Bila kita ingin secara garis besar menyusun suatu kronologi bagi sastra kidung, kita terpaksa tidak dapat mengandalkan beberapa patokan yang dalam hal kakawin kadang membuka celah kepastian yang sangat berharga. Di sini kita hanya dapat berpedoman pada bahasanya dan tidak ada satu tanggal pun yang bertalian dengan bentuk bahasa seperti dipakai dalam suatu karya sastra tertentu. Dengan demikian kita hanya dapat bersandar pada beberapa kesan umum saja. Karena pertalian dengan Jawa Kuno menjadi makin renggang, maka bertambah juga bentuk-bentuk gramatikal dan morfologis yang menyimpang dan tidak konsisten, bahkan terdapat ungkapan-ungkapan yang jelas merupakan Balinisme. Itu semua menunjukkan bahwa Jawa Pertengahan meneruskan perjalanannya sendiri dan bahwa jurang yang memisahkan periode Hindu-Jawa di Jawa dari periode Bali yang mengalami Jawanisasi menjadi lebih lebar. Beberapa kakawin dalam Jawa Kuno mungkin lebih muda daripada beberapa kidung dari Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan berdasarkan karya-karya yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali. Namun tidak berarti bahwa puisi kidung mulai ditulis di Bali dan tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit. Maka keberatan utama mengenai istilah Jawa Pertengahan adalah bahwa istilah ini memberi gambaran seolah-olah merupakan suatu bentuk peralihan, semacam jembatan antara Jawa Kuno dan Jawa modern. Dan seperti telah kita lihat kesimpulan tersebut tidak tepat. Bahasa ini dipakai dalam kalangan kraton-kraton di Bali dan untuk sebagian besar ditulis pada suatu waktu ketika hubungan dengan Pulau Jawa praktis terputus, kecuali daerah keci di Jawa Timur di tempat kebudayaan Hindu-Jawa masih dapat bertahan untuk sementara waktu. Tidak masuk akal bahwa bahasa sastra yang waktu itu digunakan di Bali menjadi jembatan antara Jawa Kuno dengan Jawa Modern.
Istilah Jawa Modern puu agak membingungkan. Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjuk bahasa yang dipakai dalam Sastra Jawa pada jaman para pujangga (akhir ababd ke-18 atau awal abad ke-19) dan yang tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam puisi Jawa sekarang atau bahasa yang dituturkan di Yogyakarta atau Surakarta dan umumnya diakui sebagai patokan bahasa Jawa halus. Namun banyak sifatnya yang khas kita jumpai jauh lebih dulu. Kita mempunyai dua karya prosa berupa ulasan mengenai agama Islam dan yang mungkin sekali berasal dari daerah pantai utara Jawa. Naskah itu dibawa ke Eropa dan dihadiahkan kepada Universitas Leiden pada tahun 1597. Dengan demikian karya ini, mungkin juga yang lainnya dapat ditentukan berasal dari abad ke-16.
Penelitian kita yang didorong oleh nafsu ingin tahu, menghasilkan suatu kesimpulan yang cukup mengherankan, yaitu; pada saat yang sama, ialah abad ke-16 terdapat Bahasa Jawa Kuno seperti kita jumpai dalam sastra kakawin yang ditulis di Bali berdampingan dengan Jawa Pertengahan seperti nampak dalam sastra kidung di Bali serta Jawa Modern seperti terdapat dalam kedua karya tentang agama Islam. Gaya-gaya regional dalam hal penuturan merupakan suatu faktor penentu dalam pembentukan Jawa Modern, seperti misalnya bahasa daerah pesisir mempengaruhi sastra Islam awal, sedangkan tutur di Jawa Tengah merupakan faktor utama dalam mewujudkan apa yang menjadi bentuk baku bagi Jawa Modern. Suatu ukuran sederhana yang membantu kita untuk mengenal Jawa Modern ialah frekuensi dipergunakannya kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.
Keterangan tersebut di atas mengenai terjadinya tiga bentuk bahasa Jawa tidak dapat diterima, karena itu berarti Jawa Pertengahan dan Jawa Modern, dua cabang Jawa Kuno, berkembang dan memperoleh sifat-sifatnya yang khas setelah terpisah dari Jawa Kuno dan lepas satu dan lainnya. Namun suatu penelitian komparatif tidak membenarkan hipotesis tadi.
Dalam pengandaian Jawa Pertengahan dan Jawa Modern baru mulai dibentuk sejak kesatuan dalam kebudayaan Jawa terpecah, maka hanya terbuka dua kemungkinan. Atau keserasian antara kedua bentuk bahasa Jawa itu hanya kebetulan saja terjadi atau yang satu meminjam kata itu dari yang lain. Tetapi melihat jumlah kata yang mirip satu dan lainnya cukup banyak, maka keterangan terakhir tadi hanya dapat dipertahankan jikaantara kedua bentuk linguistis itu terdapat hubungan dan pengaruh timbal balik yang lebih erat. Karena alasan ini hipotesis seoleh-oleh ada dua cabang yang sama sekali terpisah sebaiknya dikesampingkan. Satu-satunya alternatif yang ada adalah sifat-sifat yang dimiki bersama oleh Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Jawa Pertengahan sudah terdapat di pulau Jawa sebelum, dan mungkin jauh sebelum kekuasaan politik Hindu-Jawa lenyap. Jawa Pertengahan digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan jelas berbeda dari bahasa kakawin. Bahasa Jawa Pertengahan merupakan bahasa yang umum dipakai di Jawa semenjak akhir abad ke-10 menurut penanggalan saka, yaitu pada tahun 978-1078. Ini berarti seluruh sastra kakawin kecuali Rāmāyaṇa, ditulis dalam suatu bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Pada periode Hindu-Jawa terdapat suatu bentuk bahasa Jawa yang berbeda dari Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam kakawin dan juga dalam sastra prosa. Bahasa Jawa nonsastra itu tidak harus bersifat sergam. Bahkan bahasa itu memperlihatkan variasi-variasi regional maupun sosial. Kita memiliki berbagai karya prosa yang karena penyimpangannya dari bahasa Jawa Kuno yang baku memberi kesan seolah-olah ditulis pada suatu masa yang lebih dekat pada kita.
2 komentar:
semoga bahasa jawa makin lestari.
okeyyyy makasiii
Posting Komentar