Senin, 05 April 2010

catatan liburan semester di desa Simego

Desa Simego hari 1

Malam ini aku merasa dingin sekali. Hawa dingin di desa semega ini sungguh menyiksaku. Tetapi aku merasa hangat setelah berada di dekat tungku dapur. Di tungku dapur inilah aku menulis catatan. Semoga diberi berkah, amin. Rombongan peneliti tiba di Pekalongan jam 6 pagi. Perjalanan dari jogja memakan waktu sekitar 6 jam. Kami berangkat dari UGM jam 12 malam. Tidak akan diceritakan tentang perjalanan dari Jogja sampai Pekalongan. Rasa kantuk memaksaku untuk memejamkan mata sampai bus kami sampai di Kecamatan Karanganyar Pekalongan.

Kami turun di lapangan dekat Koramil Karanganyar Pekalongan. Aku melihat tugu buah durian di tengah pertigaan jalan. Ada petunjuk jalan untuk menuju ke tempat wisata buah duren. Aku pikir bahwa disini banyak buah duren. Setelah shalat subuh kami makan pagi sebelum nantinya melanjutkan perjalanan ke daerah tujuan penelitian masing-masing. Transportasi yang digunakan untuk menuju tempat penelitian kami adalah sebuah mobil bak terbuka yang diberi kerangka samping dan pegangan diatasnya. Jenis transportasi ini dinamakan “Doplak”. Satu buah doplak diisi sekitar 15 orang dengan tujuan sekitar 5 dusun.

Kami menuju ke Kecamatan Petungkriyono jam 8 pagi. Penelitian di Petungkriyono ini berlangsung selama 14 hari. Setiap dusun ditempati 2 orang. Doplak kami berangkat ke Petungkriyono dengan kecepatan tinggi. Pemandangan selama perjalanan menuju ke Petungkriyono sungguh luar biasa indahnya. Pegunungan tinggi berkabut terlihat menyenangkan jika dilihat dari kejauhan. Jalan yang dilalui naik turun dan berliku. Sungai berbatu menjadi pemandangan yang indah selama pejalanan. Doplak kami memasuki hutan di dalam pegunungan. Jalan sempit dan licin tidak membuat supir doplak kami tertantang sedikitpun. Tidak ada rasa takut meskipun melihat tebing tinggi dan jurang yang dalam. Mata kami tepana melihat pemandangan yang begitu luar biasa indahnya. Seperti lukisan Tuhan di dalam kanvas hidup bernama alam semesta.
Jalan yang kami lalui berubah menjadi rusak dan berbatu. Sebelumnya aku tidak mengira jika perjalanan ke Petungkriyono akan memakan waktu yang sangat lama. Sudah 2 jam kami menembus hutan petungkriyono. Perjalanan membawa kami ke tempat yang sangat tinggi. Pegunungan berkabut dijelajahi dengan sangat lama. Tidak ada pemandangan indah yang dapat kami nikmati lagi. Hanya kabut putih dan jalanan terjal yang menghiasi mata kami. Hawa dingin menyelimuti tubuh kami. Rambut kami menjadi basah karena embun dank abut. Perjalananku ke dusun Sabrang ternyata masih sangat lama. Doplak kami menuruni pegunungan menuju daerah Kabupaten Banjarnegara. Dari Banjarnegara kemudian menaiki pegunungan kembali menuju Kecamatan Petungkriyono. Satu jam kemudian, doplak kami sampai di dusun Sabrang. Satu kemudian, doplak kami sampai di dusun sabrang. Saatnya aku dan Gauri tutun membawa barang bawaan dan mengucapkan selamat tinggal kepada teman teman kami yang masih tersisa di doplak dan kembali melanjutkan perjalanan menuju dusun masing masing.

Aku dan Gauri menuju ke tempat kepala dusun yang dijuluki “Pak Bau”. Di dusun Sabrang terdapat seiktar 40 kepala keluarga. Sedangkan di dusun Kubang hanya terdapat 20 kepala keluarga. Suasana dingin dan berkabut akan tetap aku alami selama dua minggu kedepan. Matahari juga enggan menampakkan badannya di desa ini. Listrik sudah ada di dusun Sabrang. Listrik dihasilkan dari kincir air dan tenaga surya. Jika sungai mengalir baik maka listrik akan tetap menyala. Jika aliran sungai kecil atau terganggu sampah, maka arus listrik juga terganggu. Hal ini berbeda dengan tenaga surya. Alat untuk menangkap tenaga matahari diletakkan di atap rumah. Jika ada sinar matahari, maka listrik akan disimpan selama beberapa waktu. Saat itu listrik bisa digunakan untuk menyalakan lampu di dalam rumah untuk beberapa waktu saja. Jika waktu musim penghujan, maka listrik akan jarang diperoleh dengan tenaga surya.
Aku dan Gauri disambut pak Bau Sabrang dengan ramah. Dua gelas teh hangat segera disajikan oleh Pak Bau Sabrang yang bernama pak Susilo kepada kami berdua. Aku tidak lupa untuk memberi pak Susilo oleh oleh bakpia dari Jogja. Hawa dingin membuat kami berdua menggigil kedinginan. Tangan kami terasa kaku seakan akan mulai membeku. Kami pikir ini akan terjadi untuk pertama kalinya karena tidak terbiasa. Sesaat kemudian pak Bau mengajak kami ke dapur. Disitu terdapat perapian yang digunakan untuk memasak sekaligus digunakan keluarga dan tetangga yang datang untuk berkumpul sambil menghangatkan badan. Kegiatan duduk dan menghangatkan badan di dekat tungku dapur disebut masyarakat desa Semega “karing”. Hawa dingin yang kami rasakan semakin berkurang setelah duduk di dekat tungku dapur. Tidak lama kemudian ibu Bau datang dari ladang. Dengan ramah Ibu Bau Sabrang yang bernama bu Rimpi menyambut kedatangan kami.
Ibu Rimpi menyiapkan makan siang dengan lauk seadanya untuk kami berdua. Setelah kenyang makan siang, kami menuju kamar tidur untuk dan meletakkan barang bawaan. Kasur berkelambu sudah siap menanti kami. Rasa capek dan ngantuk memaksa kami untuk berbaring dan kemudian tertidur dengan pulas. Kami tidur dari jam 12.30 sampai jam 17.30. Aku terbangun karena hawa di dusun Sabrang sangat dingin. Selain dingin, tubuhku terasa sangat lelah. Aku memutuskan bangun dari tempat tidur dan menuju ke tungku dapur untuk menghangatkan badan. Makan malam sudah disiapkan ibu Bau kepada kami. Sayur kentang dan buncis serta lauk tempe menjadi hidangan yang nikmat untuk dimakan karena kami berdua merasa sangat lapar.
Pak Bau dan ibu hari ini sedang panen kentang. Terlihat banyak kentang yang diletakkan di tanah. Kentang kentang itu kemudian dijual ke Jakarta lewat pembeli yang mendatangi rumah. Aku bertanya kepada ibu Bau kenapa kentang kentang ini tidak dijual ke Pekalongan saja. Ibu bau berpendapat bahwa jika kentang kentang ini dijual di Pekalongan tentu harganya tidak setinggi kalau dijual di Jakarta. Ibu bau berkata bahwa orang melihat kentang yang baru saja dipanen adalah sesuatu yang menyenangkan. Tetapi proses menanam, memupuk, dan memberantas hama atau mengobat adalah sesuatu yang susah untuk dilakukan. Sama halnya dengan seseorang yang memperoleh pekerjaan yang baik dan enak. Orang lain akan melihatnya dengan senang. Namun proses dibaliknya terdapat banyak rintangan dan hambatan yang harus dialami untuk mendapatkan hasil akhir yang menyenangkan. Mirip seperti peribahasa yang mengatakan bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian. Nasihat yang bagus untuk hari pertamaku.



Desa Simego hari ke-2

Hari ini aku bangun pagi pagi untuk menuju ke pasar Kalibening. Jarak antara dusun Sabrang ke pasar Kalibening sekitar satu jam naik kendaraan doplak. Pasaran Kalibening adalah kliwon. Doplak melewati desa Simego ketika hari pasaran tiba. Banyak warga desa yang ingin pergi ke pasar untuk menjual hasil panen dan berbelanja. Waktu itu doplak yang lewat penuh. Aku menunggu doplak berikutnya yang lewat. Ternyata doplak yang lewat berikutnya juga penuh sesak. Terpaksa aku naik ke doplak berdesak desakan dengan warga desa. Hasil panen berupa kubis dan wortel diangkut bersama dengan warga desa.

Jalan menuju ke Kalibening memang sudah diaspal. Namun tidak sedikit juga yang rusak. Saat doplak lewat di dusun kumenyep, Rere dan pak Iskandar ikut naik doplak. Sesampainya di pasar Kalibening, kami membeli kebutuhan selama tinggal di desa Simego. Saat itu keadaan pasar sangat ramai. Maklum saja, hari ini adalah hari pasarannya Kalibening. Selain pasaran kliwon, pasar Kalibening juga ramai di pasaran pahing. Tetapi pasaran pahing di Kalibening tidak seramai pasaran Kliwon. Setelah berbelanja, kami memutuskan untuk pulang ke desa Simego dengan menunggu doplak yang akan berangkat. Saat itu kami juga menunggu teman pak Iskandar yang baru menyusul dari Jogja bernama Yuli. Yuli menyusul ke Pekalongan setelah menyelesaikan tes S2 MM di UGM.

Doplak kami sudah siap untuk naik ke desa Simego. Ongkos untuk naik ke desa Simego adalah sebelas ribu rupiah. Sedangkan ongkos turun ke pasar dari Simego ke kalibening adalah lima ribu rupiah. Di tengah perjalanan ke Simego, penumpang doplak disuruh turun sebagian karena doplak kelebihan muatan. Doplak tidak bisa naik ke tanjakan yang paling miring. Setelah doplak menaiki tanjakan, kami disuruh naik lagi ke doplak. Sesampainya ke dusun Kumenyep, Rere dan pak Iskandar turun dari doplak. Aku memutuskan untuk turun juga. Hari ini aku memang berencana untuk mengunjungi dusun Kumenyep. Jarak antara dusun Sabrang yang aku tempati dengan dusun Kumenyep adalah sekitar 30 menit jalan kaki. Di hari kedua ini kami memasak sambal teri. Pak Iskandar ternyata pintar memasak. Mahasiswa S3 di Universiti Kebangsaan Malaysia ini juga pandai dalam bermain bumbu. Biasanya bumbu dihaluskan sebelum dimasukkan atau dicampur dengan bahan utama. Namun pak Iskandar lebih memilih bumbu tanpa dihaluskan, melainkan diiris iris saja.

Di dusun Kumenyep kami menempati rumah bapak Hasan. Bapak Hasan menduduki jabatan RT di dusun Kumenyep. Pak Hasan mempunyai empat anak. Anak yang tertua bernama Erik. Erik adalah lulusan SD yang sekarang bekerja di ladang gingseng milik perusahaan Korea. Anak kedua bernama Slamet Tresno. Slamet bersekolah di SMP Simego kelas dua. Anak yang ketiga dan keempat bernama Rian dan Siti. Aku banyak bertanya kepada Slamet tentang pendidikan di dusun Kumenyep. Di dusun Kumenyep terdapat SD 02 Simego. Saat aku tanya tentang jumlah anak yang bersekolah di SMP Simego, Slamet menjelaskan bahwa ada 8 anak dari dusun Kumenyep yang sekolah tingkat SMP. Kedelapan anak tersebut semuanya adalah laki laki. Kenapa semuanya laki laki? Slamet menjawab dengan santai. “Ngapain perempuan sekolah”. Sebagian besar perempuan di dusun Kumenyep membantu orangtuanya di ladang setelah lulus SD. Selain bekerja di ladang milik orangtuanya sendiri, sebagian perempuan di dusun Kumenyep bekerja di ladang gingseng milik perusahaan Korea. Gaji buruh yang bekerja di ladang gingseng adalah dua belas ribu lima ratus rupiah sampai lima belas ribu rupiah.

Saat malam menjelang, aku tidak bisa pulang karena kabut tebal datang dan hujan turun dengan deras. Akhirnya aku bermalam di dusun Kumenyep tanpa membawa tas tidur. Jika dilihat perbandingan kebersihan diantara dusun Kumenyep dan Sabrang, maka dusun Kumenyep terlihat lebih kumuh dibandingkan dengan dusun Sabrang. Di sekitar halaman rumah maupun di pinggir jalan terdapat banyak sampah plastik yang berserakan dimana mana. Untuk masalah kamar mandi di dusun Kumenyep, tidak semua rumah mempunyai kamar mandi. Di dusun tersebut terdapat kamar mandi umum yang terletak di tengah dusun.

Malam ini aku tidak bisa tidur dengan nyenyak karena hawa dingin di dusun Kumenyep melebihi dusun Sabrang. Letak dusun Kumenyep lebih tinggi daripada dusun Sabrang. Setiap satu jam aku terbangun karena hawa dingin sangat terasa di tubuh terutama telapak kaki. Walaupun aku sudah memakai kaus kaki, tetapi dingin tetap masuk sampai kedalam. Sekitar jam dua belas malam aku pergi ke tungku dapur untuk menghangatkan badan. Aku berada di depan tungku dapur dari jam dua belas malam sampai jam tiga pagi. Rasa kantuk ini seolah olah dihapus oleh hawa dingin.

Desa Simego hari ke-3

Pagi ini aku bangun pukul tujuh pagi. Aroma nasi goreng menarik ujung hidungku. Pak Iskandar, Mas Yuli, dan Rere sudah menyiapkan nasi dan bumbu untuk digoreng. Setelah nasi goreng matang, kami makan bersama di ruang tamu sambil mengobrol tentang kegiatan masing masing. Aku memutuskan untuk pulang ke sabrang setelah selesai makan pagi. Dengan berjalan kaki, aku menuju sabrang ditemani kabut tebal. Jarak antara dusun Kumenyep sampai dusun Sabrang sekitar 30 menit berjalan kaki. Kabut tebal dan hawa dingin dengan setia menemani perjalananku pulang ke Sabrang.

Perempuan perempuan desa Simego sudah terlihat mencari rumput di ladang dan pinggir jalan. Mereka memakai caping, baju sawah, dan sepatu boot sebagai alas kaki. 30 menit kemudian aku sampai di dusun Sabrang. Ibu Rimpi dan pak Susilo sepertinya sudah pergi ke ladang. Temanku si Gauri belum bangun dari tidurnya yang lelap. Tidak lama kemudian bu Rimpi datang membawa beberapa ubi. Ibu Rimpi merasa khawatir denganku. Semalam aku tidak memberi kabar apapun tentang kepergianku ke Kumenyep. Aku jelaskan kepada bu Rimpi kalau semalam menginap di dusun Kumenyep karena sejak sore kabut tebal sudah datang dan hujan turun dengan deras.

Ibu Rimpi membuatkan secangkir kopi untukku. Dari hari pertama sampai sekarang, aku sering mengkonsumsi kopi. Meskipun disini jarang ada yang menanam kopi, tetapi hampir setiap rumah mempunyai kopi asli warga desa. Sudah tiga hari lamanya aku tidak mandi. Pagi ini aku mencoba untuk mandi walapun air di desa semega terasa sangat dingin. Desa simega berada di ketinggian 1600 meter diatas permukaan laut.

Jadwal hari ini adalah pergi ke kelurahan Simego. Kami berenam sudah berkumpul di rumah pak Bau Sabrang. Kami menuju ke dusun Simego dengan berjalan kaki sekitar satu kilometer. Pemandangan selama perjalanan sungguh menyenangkan. Kincir air sungai terlihat dari atas tempat kami berjalan. Di desa Simego telah berkumpul teman teman kami di rumah pak Bau. Rumah pak Bau Simego terletak di belakang kantor kelurahan. Kami berbagi cerita sambil bercanda selama di rumah pak Bau. Setelah beberapa jam kami bercanda, Ibu bau Simego menawarkan untuk makan siang terlebih dahulu sebelum pulang. Masakan di dusun Simego siang ini sungguh enak. Setelah makan siang, kami berpamitan untuk pulang ke dusun masing masing.

Sesampainya di rumah, aku mengobrol bersama bu Rimpi tentang banyak hal. Yang pertama adalah tentang kesehatan reproduksi warga desa Simego. Masyarakat lebih mempercayakan seorang wanita melahirkan di dukun setempat ketimbang melahirkan di tempat bidan. Dukun dianggap lebih bisa merawat sang ibu dan bayinya. Pijatan diberikan oleh dukun kepada ibunya dua kali sehari selama sepuluh hari setelah melahirkan. Kepercayaan masyarakat terhadap dukun masih sangat kuat. Sehabis melahirkan di dukun setempat, sang ibu langsung bisa bekerja seperti biasanya.

Selanjutnya adalah tentang kecantikan. Kecantikan dibagi dalam dua bagian besar yaitu kecantikan luar dan kecantikan dalam. Kecantikan dalam berkaitan dengan factor psikologi. Kecantikan dalam meliputi kepribadian, kepintaran, dan tingkah laku. Sedangkan kecantikan luar berkaitan dengan faktor fisik seperti kesehatan, keseksian, warna kulit, dan lain lain. Di dalam masyarakat desa Simego, pandangan terhadap seorang wanita cantik dipengaruhi oleh kondisi geografis setiap dusun. Kondisi geografis desa Simego yang berupa pegunungan membuat masyarakat hanya mengetahui apa yang ada di dalam desa mereka sendiri, termasuk wanitanya. Interaksi pemuda di desa Simego terbatas karena keadaan geografis. Menurut keterangan banyak orang di berbagai dusun, kebanyakan pemuda di desa Simego mendapat pasangan di dalam satu dusun. Orang jawa sering mengistilahkan dengan “pekngga” atau “ngepek tangga” yang berarti menikahi tetangganya sendiri. Pandangan pemuda desa Simego terhadap kecantikan seorang wanita secara umum sama dengan pemuda di luar. Beberapa keterangan dari pemuda desa menyebutkan bahwa wanita dianggap cantik secara fisik jika memiliki bentuk tubuh yang seimbang, badannya tinggi, serta warna kulit yang putih.

Menurut pendapat beberapa pemuda di desa Simego, seorang wanita dianggap canti jika pandai berdandan. Alasanya adalah si pemuda akan merasa bangga dan tidak canggung bergaul dengan masyarakat jika mempunyai pasangan yang pandai berdandan. Secara umum, kosmetik yang digunakan wanita di desa Simego meliputi bedak, lipstik, dan minyak wangi. Bedak dan lipstik adalah kosmetik yang wajib digunakan. Kedua jenis kosmetik tersebut digunakan ketika acara resepsi pernikahan, acara tontonan, pergi ke pasar, bahkan pergi ke ladang pun memakai lipstik dan bedak.

Jenis aksesoris yang secara umum dipakai oleh wanita di desa Simego meliputi anting, gelang, kalung. Dalam hal aksesoris atau perhiasan, faktor ekonomi sangat menentukan. Gelang dan kalung emas tidak hanya dipakai dalam acara besar dan resmi saja, melainkan untuk pergi ladang juga. Hal ini tentu saja berkaitan dengan status sosial. Faktor agama sangat mempengaruhi seorang wanita dalam hal berbusana. Seratus persen warga desa Simego memeluk agama islam. Semua wanita di desa Simego memakai kerudung. Ada kalanya seorang perempuan melepaskan kerudungnya, yaitu ketika berada di dalam rumah. Baju yang dipakai juga harus menutup aurat. Sebagian besar wanita di desa Simego masih memakai rok. Hanya sedikit yang memakai celana panjang.

Hubungan remaja di desa Simego sedikit berbeda dengan hubungan remaja di luar desa. Sepasang remaja boleh bepergian selama mendapat persetujuan kedua orangtua. Hal ini erat kaitanya dengan moral agama yang kuat di lingkungan desa tersebut. Kedua orang tua pasangan remaja menjadi kontrol sosial kepada pasangan remaja. Boleh dikatakan bahwa konsep berpacaran di desa Simego adalah sebuah hubungan yang telah disetujui kedua orang tua pasangan. Menurut keterangan yang diberikan bapak kepala desa yaitu bapak Sungkowo, rata rata usia pernikahan di desa Simego untuk perempuan adalah 16 tahun. Sedangkan untuk laki laki adalah 21 tahun.

Desa Simego hari ke 4

Jam tangan menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Gauri sudah terbangun dari tempat tidur. Ketika kami menuju di dapur, jam dinding ternyata menunjukkan pukul setengah delapan. Jam tanganku terkadang menjadi lambat sendiri. Mungkin karena sering terkena air dan cuaca disini yang sangat lembab. Menantu ibu Rimpi yang bernama Mansur pulang dari Sumatera. Kami sarapan bersama di dapur sambil mengobrol. Obrolan kami sering menyinggung tentang durian. Ternyata saat ini adalah waktunya panen durian di daerah Banjarnegara maupun Pekalongan. Impianku dari awal adalah membeli buah duren dengan harga murah disini. Tetapi karena di Kecamatan Petungkriyono tidak ada duren, maka lenyap sudah impianku.

Rencana kegiatan untuk hari ini adalah ikut pak Susilo dan Ibu ke ladang. Tetapi karena menantu pak Susilo baru datang dari Sumatera, maka kami berdua memtuskan untuk berganti rencana. Rencana baru kami adalah mengunjungi dusun kumenyep. Perjalanan kami diawali dengan pergi mengelilingi dusun kami yaitu dusun Sabrang. Kami sempat merekam dan memotret dusun kami dari atas bukit sebelah dusun. Dusun Kumenyep berjarak 30 menit jalan kaki melalui jalan umum warga. Namun kami berdua memutuskan untuk melewati ladang dan hutan untuk menuju dusun Kumenyep. Perjalanan kami terasa berat karena jalan yang kami lalui terus menanjak dan licin.

Terlihat seorang ibu yang sedang menggarap sawahnya. Kami bertanya beberapa hal tentang ladang yang sedang digarapnya. Ladang di dusun Sabrang sebagian besar ditanami sayuran. Sayuran tersebut adalah kentang, wortel, selong, kubis, sawi. Sisanya adalah teh dan tembakau. Setelah bertanya, kami kembali melanjutkan perjalanan lewat atas dusun sabrang. Terlihat dusun Kumenyep dari kejauhan. Dusun Kumenyep terlihat berada di balik bukit. Kami tidak bisa melewati bukit itu begitu saja karena kedua bukit dibatasi lereng yang curam. Terpaksa kami harus jalam memutar dengan menaiki bukit Sabrang terlebih dahulu kemudian memutari bukit. Perjalanan menuju atas bukit terasa sangat melelahkan. Udara yang dingin dan jalan setapak yang licin menghambat perjalanan. Kami harus melewati ladang satu ke ladang yang lain dengan menerabas pohon teh. Usaha untuk menuju ke atas bukit tidak sia sia dilakukan. Kami menjumpai anak muda yang mengangkat kayu di atas bukit. Pemuda itu menunjukkan jalan untuk menuju dusun Kumenyep. Jalan yang ditunjukkan pemuda itu adalah jalan setapak di pinggir jurang yang curam. Aku agak takut melewati jalan setapak itu. Tetapi takutku semakin berkurang karena pemandangan selama melewati jalan itu sangat indah.

Hari ini kabut belum datang. Panas matahari juga sedikit terasa. Kami menuruni jurang dengan berhati hati. Terlihat sungai kecil mengalir diantara dua bukit. Gauri sempat mengambil kamera dari tasnya untuk memotret pemandangan sekitar yang indah. Kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki bukit lagi. Kali ini bukit yang kami naiki ditanami pohon gingseng. Ternyata kami melewati ladang gingseng yang sangat luas. Luas ladang gingseng itu sekitar 15 hektar. Mendengar keterangan warga desa Simego, ladang gingseng tersebut adalah ladang milik orang Cina. Tidak terlihat ada pekerja yang berada di ladang gingseng waktu itu. Mungkin karena tanaman gingseng di ladang itu baru tumbuh. Setelah naik ke atas bukit gingseng, terlihat dusun Kumenyep dari atas bukit. Kami menuruni bukit menuju ke dusun Kumenyep dengan perasaan senang. Satu setengah jam kami melakukan perjalanan dari Sabrang ke Kumenyep melewati bukit bukit. Setelah sampai di dusun Kumenyep, kami langsung menuju rumah pak Hasan. Rumah pak Hasan ditempati teman kami Rere dan Kris. Pak Iskandar dan Mas Yuli tinggal di Kalibening sejak hari ke 3. Sesampainya di rumah pak Hasan, tidak ada seorangpu yang berada di dalam. Memang sebelumnya kami tidak berjanji terlebih dahulu jika akan datang. Tetangga sebelah berkata bahwa pak Hasan dan kedua mahasiswa berada di dusun Kubang untuk melayat.

Waktu itu di desa Kubang ada seorang anak muda yang meninggal karena penyakit. Aku dan Gauri memutuskan untuk pergi ke dusun Kubang. Baru saja kami berjalan sekitar 200m, kami melihat Erwan, Kris, dan Pak Iskandar yang pulang dari dusun Kubang. Semua kembali ke tempat pak Hasan untuk makan siang. Kami berlima bersama sama membuat mie dicampur dengan telur. Dari hari pertama makanan kami selalu mie. Di desa Simego mie merupakan makanan yang enak dan mudah disajikan. Di dusun Sabrang ikan pindang menjadi makanan yang dianggap mewah.Setelah makan kami bersama sama mencuci piring. Dua hari yang lalu pak Iskandar sempat membeli sabun cuci di pasar. Sebagian besar masyarakat dusun Kumenyep tidak memakai sabun utnuk mencuci piring. Hanya dengan air dan abu dari tungku saja.

Kami berenam mengobrol dan berdiskusi di ruang tamu. Obrolan kami tentang kasus kasus yang terjadi di desa Simego. Tiga jam kami berdiskusi tidak terasa lama. Seperti perkuliahan satu semester yang dipadatkan. Pak Iskandar dan mas Yuli memiliki analisis yang hebat tentang permasalahan yang terjadi di desa Simego. Setelah berdiskusi aku dan Gauri memutuskan untuk pulang ke Sabrang pukul 3 sore. Kami tidak lagi melewati hutan berbukit. Kami pulang melewati jalan beraspal. 30 menit kami berjalan dari dusun Kumenyep ke Sabrang. Sesampainya di rumah aku memberanikan diri untuk mandi. Tidak lama kemudian mas mansyur dan pak susilo pulang dari Karangkobar. Mereka membawa dua buah duren yang dibeli dari Karangkobar. 2 buah duren berukuran sedang dibeli seharga 16 ribu. Impianku tentang duren akhirnya terwujud.

Desa Simego hari ke 5

Hari ini aku bangun pukul 5 pagi. Seperti biasanya aku langsung menuju ke dapur dan duduk di dekat tungku dengan ditemani bapak Susilo. Bapak hari ini tidak pergi ke ladang karena kelelahan.Tetapi ibu Rimpi berencana untuk pergi ke ladang untuk memanen wortel. Wortel yang dipanen tidak untuk dijual, melainkan untuk dibawa menantu ibu ke Sumatera sebagai oleh oleh. Mas Mansyur harus kembali ke Sumatera pada hari jumat. Aku dan Gauri memutuskan untuk pergi menemani ibu ke ladang untuk memanen wortel. Ladang wortel ibu berada di dekat dusun Kumenyep. Dengan berjalan kaki, ladang ibu Rimpi dapat dicapai dalam waktu 20 menit. Kami berjalan ke ladang ibu sambil menikmati pemandangan yang indah seperti biasanya.

Matahari pagi sanggup memnembuskan sinarnya ke desa Simego. Perempuan perempuan muda maupun tua sudah terlihat memanggul keranjang penuh berisi rumput. Anak berseragam smp terlihat berjalan menuju Simego untuk bersekolah. Mereka adalah anak anak dari dusun Kumenyep dan Kubang. Salah satu dari mereka adalah Slamet. Slamet tersenyum kepadaku dan menyapa sambil bersalaman denganku. Aku bertanya kepada Slamet sambil bercanda. “Mau ngampus met?”. Slamet hanya tersenyum begitu saja kepadaku. Slamet berjalan dari Kumenyep ke smp Simego selama satu jam. Di tengah perjalanan, kami juga melihat seorang anak yang mengenakan celana SD memanggul dua keranjang penuh rumput. Anak ini rupanya lulusna SD yang bekerja di ladang untuk membantu orang tuanya. Sebagian besar masyarakat desa Simego menganggap pendidikan itu tidak begitu penting.

Anak anak disuruh untuk bekerja di ladang orang tuanya selepas menempuh pendidikan SD. Ekonomi masyarakat yang rendah sangat mempengaruhi hal ini. Di desa Simego hanya terdapat dua SD dan satu SMP. Tidak ada SMA di desa ini. TK baru saja dibuat dengan dana PNPM tetapi belum dipakai. Setelah berjalan beberapa lama, kami akhirnya sampai di ladang ibu. Aku melihat tanaman kubis yang sudah berbuah. Ibu Rimpi membiarkan buah kubis itu begitu saja tanpa dipanen. Menurut ibu Rimpi kubis tersebut sudah terlalu tua dan murah jika dijual. Di bawah ladang kubis terdapat ladang wortel yang bertingkat. Ada tiga tingkat ladang yang ditanami wortel. Tanpa ragu ibu Rimpi mencabut tanaman wortel yang diperkirakan sudah ada buahnya. Buah wortel yang kami ambil memang belum terlalu besar. Tetapi sebagian ada yang berukuran sedang. Entah kenapa aku merasa senang saat ini. Buah wortel yang dipanen terlihat sangat menyenangkan jika dilihat. Kami bertemu dengan mas Imam di ladang ibu. Mas Imam adalah anak pertama ibu Rimpi. Dia terlihat sedang membersihkan rumput di ladang yang ditanami kentang. Mas Imam sempat mengatakan kalau di desa Simego terdapat jalan wali. Jalan wali adalah jalan setapak yang dapat menghubungkan Petungkriyono dan Lebakbarang. Perjalanan dari Petungkriyono sampai ke Lebakbarang melewati jalan wali dapat ditempuh selama 3 jam. Mas Imam berkata jika di jalan wali terdapat banyak tanaman anggrek. Informasi mengenai jalan wali membuat kami ingin menuju kesana. Kami berencana untuk pergi ke jalan wali besok.

Seember penuh wortel sudah kami dapatkan. Kata ibu Rimpi itu sudah cukup untuk oleh oleh mas Mansyur. Ibu Rimpi pulang dengan membonceng motor yang lewat. Sedankan aku dan Gauri berjalan kaki sambil menikmati pemandangan desa Simego yang sangat indah. Tak lama kemudian terdengar suara mobil dari kejauhan. Ternyata sebuah doplak menuju arah Kalibening. Dengan cepat aku memanggil bapak supir doplak itu untuk berhenti. Aku pamit kepada Gauri untuk menuju ke pasar Kalibening. Ternyata doplak yang aku tumpangi adalah doplak pak Lurah yang akan pergi kondangan. Doplak pak lurah sempat berhenti sebentar di dusun Kubang. Aku melihat dusun Kubang tidak sebesar dusun Sabrang. Di dusun Kubang hanya terdapat dua puluh kepala keluarga. Di dusun Kubang terdapat kamar mandi umum di depan jalan masuk ke dusun.

Doplak kembali melanjutkan perjalanan meninggalkan Simego. Sesampainya di Kalibening aku minta diturunkan di pasar. Di pasar Kalibening aku membeli beberapa sayur dan bumbu untuk memasak. Hari ini aku berencana untuk memasak. Meskipun aku dapat menikmati masakan ibu Rimpi, tetapi masakanya terlihat tidak bervariasi. Mie instan menjadi sajian tetap di rumah. Aku ingin memasak sesuat yang lebih berbeda. Pak lurah akan datang satu jam setelah aku turun di pasar. Tetapi setelah 2 jam aku menunggu di pasar, doplak pak lurah tidak kunjung datang. Terpaksa aku naik ojek untuk menuju ke dusun Sabrang. Hujan turun dengan deras sesampainya aku di dusun Sabrang.

Aku teringat tentang rencana untuk menuju ke jalan wali. Aku memutuskan untuk pergi ke Kumenyep bersama Gauri untuk mengajak keempat teman kami. Kami berdua berjalan ke dusun Kumeyep di tengah hujan deras. Air hujan di desa ini sungguh sangat dingin. Tangan kami yang tidak tertutup mantel terasa akan membeku. Sesampainya di Kumenyep pak Iskandar dan mas Yuli terlihat sedang berada di depan SD. Mereka sudah selesai melakukan pengamatan dan wawancara di SD Simego 2. Banyak hal yang menarik untuk diceritakan pak Iskandar tentang SD tersebut. Kami menuju ke rumah pak Hasan untuk membahas beberapa hal mengenai SD tersebut. Banyak masalah yang terjadi di SD tersebut. Ada seorang guru yang sudah mengabdi selama 26 tahun di SD itu. Guru itu bernama pak Joko Iryanto. Pak Joko bersal dari Pati Jawa Tengah. Setiap tiga minggu sekali pak Joko pulang ke Pati. Selama di desa Simego pak Joko menginap di SD tersebut.

Anak pak Hasan yang bernama Rian tidak bersekolah hari ini. Setelah ditanya kenapa tidak sekolah Rian menjawab dengan santainya. Rian tidak berangkat karena cuaca yang dingin. Ternyata banyak anak SD yang membolos hari ini. Sebenarnya pak guru sudah memberitahu ke muridnya jika tidak masuk sekolah harus membuat surat. Tetapi hal itu dihiraukan oleh murid. Pendidikan disini masih dipandang sebelah mata. Setelah lama mengobrol kami menuju desa Sabrang untuk wawancara dengan pak lurah. Di tempat pak lurah kami bertanya banyak hal. Dari permasalahan tentang pendidikan sampai masalah politik. Kami berenam bertanya secara bergantian sampai jam 5 sore. Setelah cukup bertanya kami memutuskan untuk pulang ke dusun masing masing.

Desa Simego hari ke 6

Seperti pagi biasanya. Aku sudah berada di depan tungku ibu Rimpi. Ibu Rimpi selalu menemaniku. Untuk dibuatkan the atau kopi. Hari ini aku dan Gauri berencana untuk pergi ke wadastape dengan ditemani anak pak Bau yang bernama Imam. Mas Imam biasa menjadi petunjuk jalan untuk menuju ke wadastape. Wadastape adalah sebuah tempat berada di puncak bukit. Wadastape disebut juga jalan wali. Tidak begitu jelas kenapa disebut jalan wali. Pak Imam mengatakan bahwa jalan wali adalah jalan yang dibuat oleh salah satu wali sanga. Jalan wali terlihat aneh bagi masyarakat desa Simego. Banyak yang percaya jika jalan wali tidak mungkin dibuat oleh manusia biasa. Jalan wali juga dapat menghubungkan antara kecamatan Petungkriyono dengan Lebakbarang. Dari kecamatan Petungkriyono sampai Lebakbarang dapat ditempuh selama tiga jam dengan berjalan kaki melewati jalan wali tersebut.

Aku, Gauri, dan mas Imam berangkat dari rumah pak Susilo sekitar jam 9 pagi. Wadas tape ditempuh dengan berjalan kaki selama satu jam. Jalan menuju ke wadastape termasuk susah untuk dilewati. Selain jalan setapak yang sempit dan berbatu, jembatan kayu yang licin menantang adrenalin kami. Kami harus terus berjalan ke wadastape sebelum kabut datang. Pemandangan yang kami lihat selama di perjalanan sungguh mengagumkan. Kami melewati jalan setapak yang pinggirnya adalah jurang. Kami harus berkonsentrasi melangkah karena jalan yang kami lewati diantara jurang yang sangat dalam. Pemandangan selama perjalanan tidak lupa kami rekam dan potret. Terlihat air terjun Curug Cinde dari kejauhan. Di depan kami terdapat hutan pinus milik perhutani. Mas Imam mengatakan bahwa tidak mungkin penduduk desa memiliki pohon pinus sebanyak ini. Pohon pohon pinus ini pasti dimiliki oleh perhutani. Penduduk desa terlihat sedang memotong kayu kayu pinus itu. Tindakan memotongi kayu kayu pinus itu menjadi pertanyaan saya. Mengapa penduduk berani memotong kayu pinus milik perhutani?. Saya menanyakan hal ini kepada mas Imam. Dijawab oleh mas Imam bahwa penduduk itu “mbeling”. “Mbeling” adalah kata bahasa jawa yang berarti nakal. Kalau penduduk itu ketahuan oleh mandor perhutani pastilah ditangkap dan dihukum.

Setelah kami melewati hutan pinus, tibalah saat yang paling sulit. Jalanan yang kami lewati berikutnya lebih licin dari yang sebelumnya. Mas Imam menyuruh kami supaya melepas alas kaki kami. Perjalanan kami hampir mencapai tujuan. Mas Imam mengatakan jika wadastape sudah tidak jauh lagi. Perjalanan ke wadastape dapat ditempuh sekitar 15 menit lagi. Wadastape adalah jalan berupa bebatuan yang ditempeli akar akar besar dari pohon yang sangat besar. Menurut mas Imam akar akar besar yang menempel di bebatuan sudah ada sejak jaman dahulu. Sesampainya di wadastape kami beristirahat sambil menikmati pemandangan sekitar yang sangat indah. Pemandangan yang indah itu hanya dapat kami nikmati sebentar karena kabut sudah menutupi bukit.

Disebelah kami terdapat pohon yang diatasnya terdapat tanaman anggrek. Gauri memberanikan diri untuk memanjat pohon itu dan memetik tanaman anggrek. Banyak tanaman anggrek yang menempel di pepohonan dan bebatuan. Namun pohon tersebut sayangnya berada di pinggir jurang. Tidak seorangpun berani memanjatnya tak terkecuali mas Imam sendiri. Setelah satu jam sibuk memetik anggrek kami kembali ke dusun Sabrang. Perjalanan melelahkan dari wadastape ke Sabrang ditempuh selama satu jam. Kami berangkat menuju wadastape tanpa beristirahat. Sedangkan kami berjalan dari wadastape ke Sabrang harus beristirahat tiga kali. Jam dua belas siang kami sudah tiba di rumah Pak Bau.

Desa Simego hari ke 9

Tidak akan diceritakan kemana aku pergi untuk hari ketujuh dan delapan. Pagi ini hawa dingin tidak begitu terasa. Semalam aku menginap di Kalibening tempat pak Iskandar dan mas Yuli menginap. Rumah pak Iskandar dan mas Yuli menginap terletak 2 km dari pasar Kalibening. Pagi ini aku berangkat ke dusun Kubang. Setelah sampai dusun Kubang aku dan mas Yuli diterima pak bau dirumahnya. Rumah pak bau kubang sangat sederhana. Rumah pak bau masih beralaskan tanah. Dinding rumahnya terbuat dari papan kayu. Tidak ada tempat tidur di kamarnya. Kami sempat mengobrol sebentar dengan pak bau mengenai pertanian. Sepertinya pak bau dusun Kubang kurang memberikan informasi yang cukup untuk kami. Saat itu pak bau dusun Kubang sedang menunggu pak lurah datang untuk mengambil teh. Hasil panen teh pak bau nantinya akan dibawa ke pabrik pengolahan daun teh di Pekalongan.

Setelah mengobrol dengan pak bau kami mengelilingi dusun Kubang. Di dusun Kubang hanya terdapat sekitar dua puluh kepala keluarga. Kamar mandi di dusun Kubang kebanyakan terletak di luar rumah. Bentuk kamar mandinya hanya berupa bak dan bilik papan sederhana. Di dusun Kubang terdapat kamar mandi umum di dekat pintu masuk dusun. Tidak lama kemudia kami bertemu seseorang yang menawarkan jasanya untuk membuatkan tanda pengenal pada perabotan rumah tangga. Tanda pengenal tersebut biasanya berupa nama pemilik. Nama pemilik diukirkan pada gagang sendok atau piring. Laki laki tersebut bekerja berdasarkan permintaan warga. Hampir setiap hari laki laki tersebut mengelilingi setiap dusun di seluruh kecamatan. Jika petang sudah menjelang, dia bermalam di salah satu rumah warga. Paginya dia kembali melanjutkan perjalanannya ke dusun berikutnya.

Desa Simego hari ke 10

Sejak subuh hujan deras mengguyur desa Semega. Hingga pukul 9 hujan masih belum reda. Aku, Rere dan kris sudah terbangun kemudian membuat kopi. Kami belum bisa melakukan aktivitas apapun karena hujan terlalu deras. Kris dan Rere berencana untuk tidur lagi sampai sore. Sekitar pukul 10 pagi hujan sudah berhenti turun. Kami bertiga memutuskan untuk pergi ke dusun Sabrang. Di dusun Sabrang kami juga tidak melakukan aktivitas apapun. Hari ini di Sabrang ada sesuatu yang sedikit berbeda. Televisi pak Bau akhirnya dapat dinyalakan. Acara televisi akhirnya dapat kami lihat setelah sepuluh hari kita aku tidak menonton televisi. Kebetulan di rumah pak Bau juga mempunyai DVD dengan beberapa kaset film dan lagu dangdut. Kris menyuruhku untuk memutarkan film horor. Dari jam 11 sampai jam 1 siang kami menonton film komedi horor di tempat pak Bau Sabrang.

Setelah menonton film komedi horor kami memutuskan untuk pergi ke dusun Simego. Meskipun sinar matahari tidak banyak sampai ke desa kami, namu rasa hangat sedikit terasa. Pemandangan yang kami lihat selama perjalanan sangat indah. Jalan yang kami lewati sudah banyak yang rusak. Maklum saja, tidak sedikit truk yang melewati jalan ini untuk mengangkut hasil pertanian. Sepuluh menit kemudian kami sampai di dusun Simego. Kami langsung menuju ke rumah pak Bau Simego untuk menemui Ajik dan Agung. Selama 2 jam kami mengobrol dan bercanda. Hujan turun dengan deras hingga sore menjelang. Setelah hujan reda kami berpamitan untuk pulang ke dusun masing masing. Saat itu mendung kembali menyelimuti desa Simego. Dalam perjalanan pulang hujan turun dengan deras. Untung saja kami sudah menyiapkan mantel sebelumnya. Hujan turun semakin deras. Aku berlari cepat untuk segera sampai ke dusun Sabrang.

Setelah sampai rumah kami memasak mie rebus untuk menghangatkan badan. Malam harinya pak Susilo dan cucunya memutar film horor Susana. Aku takut melihatnya karena lampu rumah semua dipadamkan untuk dapat menyalakan televisi.

Desa Simego hari ke 11

Saat aku terbangun dari kursi ruang tamu, tiba tiba aku merasa tidak enak badan. Sepertinya aku terkena radang tenggorokan. Terasa sakit jika untuk menelan. Apalagi bibirku juga pecah pecah. Pagi ini mendung tebal sudah menyelimuti desa Simego. Kris dan Rere mulai khawatir jika hujan turun dengan deras. Mereka pasti susah untuk kembali ke dusun Kumenyep. Hari ini tidak ada kegiatan yang dilakukan. Dari hari sebelumnya kami tidak merencanakan kegiatan untuk dilakukan. Namun hari ini bu Rimpi berencana untuk pergi ke ladang untuk memanen kubis dan wortel. Kami berempat memutuskan untuk ikut bu Rimpi ke ladang. Ladang kubis dan wortel milik bu Rimpi terletak di dekat dusun Kumenyep. Sesampainya di ladang pak Susilo dan mas Imam sudah ada disana. Dengan sabitnya yang tajam pak Susilo memotong buah kubis dari pohonnya. Kubis kubis yang sudah dipotong dari pohonya kemudian ditumpuk menjadi satu. Kami bermain main dengan kubis kubis itu. Kubis yang telah dipotong bapak kemudian aku lempar ke Kris. Karena keasyikan lempar lemparan kubis, kami tidak sadar beberapa kubis ada yang rusak.

Setelah memanen kubis kami berempat membantu ibu memanen wortel. Memang agak sulit untuk memanen wortel. Tidak semua tanaman menghasilkan wortel yang besar. Kebanyakan wortel yang kami ambil masih berukuran kecil kecil. Setelah tanaman wortel dicabut kemudian buah wortel dipisahkan dari tanamanya dengan memotong sampai ujung buah. Wortel yang sudah dikumpulkan kemudian dicuci bersih. Setelah wortel dibersihkan kemudian dimasukkan dalam “bagor” untuk dibawa ke pasar besok pagi. Seusai memanen wortel kami pulang ke dusun masing masing. Tak lama setelah aku sampai rumah, seseorang mengetuk pintu rumah. Ternyata Surya dan Ihsan datang dari dusun Gunung Cilik. Mereka jauh jauh berjalan dari Gunung Cilik untuk menemui kami dan teman teman yang lain. Malam ini Surya dan Ihsan tidur di Sabrang.

Desa Simego hari ke 12

Hari ini aku berencana untuk pergi ke pasar Kalibening meskipun rasa sakit semakin aku rasakan. Doplak sudah ada di depan dusun. Supir doplak menunggu warga mengangkut panen ke bak belakang doplak. Semula aku tidak yakin jika bisa ikut doplak yang datang pertama itu. Tetapi dengan sedikit memaksakan diri aku memutuskan untuk ikut dengan duduk di tutup bak belakang doplak. Dari dusun Sabrang sampai pasar Kalibening jaraknya adalah sekitar satu jam naik kendaraan doplak. Selama satu jam aku berpegangan kerangka besi doplak. Sesampainya di pasar Kalibening tanganku menjadi merah karena lama berpegangan pada besi belakang. Di pasar aku membeli beberapa plastik kopi. Aku membeli kopi di tempat penggilingan kopi. Kopi di tempat tersebut masih murni dan belum dicampur. Setelah membeli kopi aku mencari kawung. Kawung adalah daun yang dipakai sebagai kertas rokok. Namun daun kawung susah dicari di pasar itu. Akhirnya aku menyerah untuk mencari kawung di pasar. Jam 9 aku naik doplak yang pertama menuju ke desa Simego. Sampai rumah aku langsung berbaring di tikar depan televisi. Aku mencoba beberapa kali menyalakan televisi. Namun arus listirk belum kuat untuk membuat televisi menyala. Tidak lama kemudian seseorang mengetuk pintu rumah. Setelah pintu aku buka ternyata mas Reza dari dusun Iger gede datang sendirian. Mas Reza adalah mahasiswa S2 Antropologi UGM. Malam ini mas Reza menginap di rumah kami.

Desa Simego hari ke 13

Hari terakhir di Petungkriyono. Tidak ada kegiatan penting yang aku lakukan hari ini. Besok pagi doplak dari Simego menjemput kami pulang. Perjalanan menuju tugu durian karanganyar rencananya dimulai pukul 8 pagi. Pagi ini Kris dan Rere datang ke rumah dengan sepeda motor. Aku, Gauri, mas Reza, dan Kris selalu menyinggung tentang hari terakhir di Petungkriyono. Rasanya senang sekali sudah melewati hari hari di desa Simego, Kecamatan Petungkriyono, Pekalongan.

Dari hari pertama sampai terakhir aku menulis catatan ini di depan tungku dapur sambil menghangatkan badan. Aku menulis berbagai hal yang aku alami di desa Simego. Banyak hal yang aku lakukan di desa Simego. Namun tidak ada kemajuan yang dapat aku berikan pada mereka. Desa Simego ini diibaratkan seperti museum kebudayaan masyarakat terpencil yang hidup. Semua orang bisa melihat dan datang ke tempat ini. Namun tidak semua orang mau memberi sedikit perubahan untuk kemajuan desa ini.

Hari ini radang tenggorokanku makin terasa sakit. Tubuhku juga terasa sangat lemas. Leherku terasa sakit jika digerakkan. Beberapa hari sebelumnya aku tidak bisa tidur dengan baik. Hawa dingin di desa ini memang susah untuk diadaptasi. Hujan turun tidak menentu setiap hari. Angin besar selalu datang setiap sore. Pada saat hujan deras dan angina besar kami tidak bisa melakukan aktivitas apapun selain hanya duduk di depan tugu dapur. Kondisi fisikku di beberapa hari terakhir ini terasa sangat buruk. Aku berharap semoga kondisiku bisa pulih sampai aku tiba di jogja.

Dari hari pertama sampai terakhir aku mencoba sesuatu yang baru. Sesuatu yang jarang aku dapatkan di jogja. Dua minggu liburan semester diisi dengan mengikuti TPl di kecamatan Petungkriyono Pekalongan. Tidak ada kerugian sedikitpun dalam mengikuti kegiatan ini. Walaupun kondisi fisikku semakin melemah di beberapa hari terakhir ini, tetapi aku yakin akan cepat sembuh. Dalam kegiatan ini aku bertemu dengan beberapa orang yang istimewa bagiku. Suatu saat aku ingin bertemu dengan mereka lagi. Namun waktu yang dapat menentukan pertemuan kami.

Tidak ada komentar: