Kamis, 26 Februari 2009

Penanggalan Jawa Kuna Wirataparwa

ON THE DATE OF THE OLD JAVANESE WIRATAPARWA

Di dalam kata pengantar edisi pengritikan dari The Virataparvan, Prof. Raghu Vira menyatakan bahwa ini adalah sebuah kealamian seperti sebuah kepingan yang seharusnya menjadi lebih populer dari parwa Mahabarata yang lain. Bahkan dapat menggantikan Adiparwa. Pencerita Mahabarata memulai sesi mereka dengan Virata bukan dengan Adi. Virata datang sebagai manggala dari penceritaan Mahabarata. Dalam pernyataan singkat, perjalanan yang terjadi pada akhir bagian Wirataparwa Jawa Kuna, di mana penulis memberitahu pembaca nilai dari parwa ini adalah sesuatu yang menarik. Menurut terjemahan Prof. Raghu Vira, jalur ini meliputi:
‘Seperti ini akan dibaca athava terdengar seperti [Wirataparwa], itu akan …
Peristiwa seperti Wirataparwa Jawa Kuna dengan kata lain ketidakhadirannya dari Adiparwa dan parwa-parwa lainnya seperti mengindikasikan bahwa di Jawa paling tidak ketika penerjemahan Mahabarata diselenggarakan. Wirataparwa dianggap sebagai manggala dari Mahabarata yang paling baik. Meskipun ini lebih menyerupai bahwa parwa dari epos hebat yang diterjemahkan ke dalam Jawa Kuna yang berhubungan daripada sembarangan, kemungkinannya bahwa Wirataparwa Jawa Kuna bukan Adiparwa, bukan terjemahan pertama yang harus dipotong.
Hal ini menarik bahwa Wirataparwa Jawa Kuna adalah sebuah hasil karya yang unik yang memberikan kepada kita tanggal yang tepat dari permulaan dan penyelesaian dari penyusunan ini. Apa pun alasan yang mendorong penulis dari parwa ini untuk mencatat tanggal ini, poinnya akan didiskusikan secara berani pada akhir artikel, satu hal yang pasti bahwa menuliskan di dalam hasil karyanya dia memberikan kepada kita servis yang baik: tanpa bantuan dari penanggalan ini kita tidak akan dapat menetapkan secara pasti dari terjemahan Mahabarata dan bagian terakhir dari Ramayana (dalam konteks ini Uttarakanda) ke dalam Jawa Kuna.
Hal ini benar bahwa manggala dari Wirataparwa Jawa Kuna penulis menyebutkan Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama, seorang raja dari kerajaan Jawa Timur, tetapi identitas raja ini tidak akan pernah jelas, jika kita tidak memiliki tanggal penyusunan Wirataparwa.
Polemik penamaan Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang disebut dalam maggala Adiparwa tahun1877, Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama adalah nama lain dari raja Airlangga. Berita ini sudah dipublikasikan oleh Wirataparwa Jawa Kuna tahun 1912. kesimpulannya harus direvisi: nama Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama pada bab akhir muncul tanggal 996 A.D. Teguh sebenarnya adalan nenek moyang Airlangga.
Penerjemahan dari tiga parwa (Adiparwa, Wirataparwa, dan Bhismaparwa) dan Uttarakanda merupakan permintaan yang harus dilaksanakan pada rezim Teguh. Ketika Jawa mengalami pralaya akibat perang saudara dengan Wurawari.
Menurut pendapat Berg epos Mahabarata sama baiknya dengan Ramayana. Keduanya telah diterjemahkan dalam Jawa Kuna pada masa pemerintahan Airlangga.
Inti dari pendapat Berg yang disebut Doktrin Udayana, menjelaskan secara rinci bahwa Airlangga adalah Wisnu pada masanya yang ayahnya, Udayana adalah keturunan Arjuna, nenekya Mrgawati adalah keturunan Rama. Mahabarata dan Ramayana berfungsi pada masa pemerintahan airlangga. Keduanya diterjemahkan pada masa Airlangga. Berg membantah opini Krom tentang identitas Teguh sebagai mertua dan nenek moyang Airlangga. Pernyataan ini diperkuat dengan argument Berg:
“argument Kro hanya sedikit nilainya karena tanggal dari Wirataparwa adalah penyisipan terakhir yang disisipi ke dalam sebuah teks secara naïf, dalam jawaban dari pertanyaan raja ketika dia memulai menghubungkan sejarahnya penulis berkata. “ aku telah meyelesakannya dalan 29 hari, dari akhir Asuji sampai akhir dari Kartika.” Satu hal yang tidak menyebut tahun ketika salah seorang mengatakan di bulan Agustus bahwa pekerjaan ini selesai di bulan Juli.
Tanpa memedulikan pendapat Berg dalam Doktrin Udayana, tidak akan menjauhkan kita dalam lingkup artikel ini. Saya berharap dapat menggugurkan aegumen Berg sebagai saran atas pengahargaan dari penanggalan Wirataparwa. Pesan ini mengandung data yang dianggap Berg sabagai penyisipan: Tuanku, saya teringat akan permulaan tanggal ke-15 saat matahari tenggelam, pada bulan Asuji, pada Tungle, Rabu Kliwon, wuku Pahang, tahun 918 Saka. Dan saat ini Mawulu, Kamis Wage, wuku Madangkungan, tanggal ke-14 dari tenggelamnya bulan Kartika: terselesaikan dalam 29 hari.
Berg berargumen bahwa penghargaan sebuah penyisipan adalah sesuatu yang naïf dalam tubuh teks. Semenjak ada laporan atas ketidakcocokan data (menurut kalkulasinya, bertepatan pada tanggal 14 oktober 996 A.D dan 12 Novenber 996 A.D berturut-turut), kita yakin bahwa semua data adalah benar. Dengan kata lain: ‘pada akhir Asuji 918 samapi akhir akhir Kartika…, ‘ bahan lain yang dapat menyrinkronkan dengan benar semua data kalender yang dibutuhkan untuk melengkapi pernyataan tanggal Jawa Kuna yang mengakibatkan minggu-minggu pentat, sextat, dan hextat, wuku, bulan lunar, dan tanggal yang berhubungan pada tahun Saka merupakan tahun yang disispi setelah kejadian actual atas saran Berg.
Jika kita menerima argumen Berg bahwa Wirataparwa adalah sebuah penyisipan, maka kita harus menganggap bahwa penyisip haruslaha ahli dalam perhitungan rumit dalam kalender Jawa. Sampai saat ini ahli Kalender Jawa sepertinya harus menemukan secara sempurna tanggal yang ia tetapkan. Ketika Berg menyatakan bahwa polemic perbedaan penyebutan bulan, mungkin ini benar pada konteks saat ini, tetapi tidaklah penting bagi masyarakat Jawa di masa lampau. Perilaku ini dapat disebut pendekatan tipikal utuk sejarah, sebuah pendapatan yang ditentang Berg.
Pengumpulan metode atas tanggal dari awal dan akhir penyelesaian tugas yang dikerjakan oleh penulis dari tanggal Wirataparwa bukan sesuatu yang biasa pada masa lampau. Hal ini sama seperti kejadian Prasasti Kedukan Bukit. Bagian Prasasti ynag berhubungan dengan diskusi kita akan dibacakan sebagai berikut: kemakmuran. Keberuntungan. Pada akhir tahun 604 Saka tanggal ke-11 dari minggu kedua yang cerah pada bulan Waisakha (23 April A.D 682) Tuhan kita yang suci memulai ekspedisi sukses. Pada hari ke-7 minggu ke-2 bulan Jyestha (19Mei) Tuhan Maha Agung kita meninggalkan Minanga…
Akhir dari abad ke-19 Yasadipura masih menggunakan metode yang sama dalam penanggalan salah satu karyanya. Kita dapaty membaca dalam Arjuna Sasrabahu 1.1: Atas perintah putra mahkota Surakarta Jawa penulisan dari puisi yang diawali syair dandanggula telah dimulai pada Kamis Legi. Tanggal 14 Jumadal’ula jam 8. Jimakhir tahun 1746.
Penulisan puisi Arjuna Sasrabahu telah diselesaikan pada 22 Ramadhan Jimakhir, pada Kamis jam 8 pagi, dalam 12 hari dari bulan pertama tahun yang sama sebagai permulaan.
Hal ini adalah normal bagi ketiga penulis, Yasadipura dari abad 19 Jawa, penulis dari Wirataparwa Jawa Kuna, penulis dari abad ke-7 prasasti Kedukan Bukit, menulis kalender khusus untuk kita. Tetapi jika penulis dari tanggal terjadinya menemukan cara dati peletakan kalender, bagaimana kta dapat yakin bahwa penulis dari Wirataparawa sendiri tidak menemukan sebuah meotde normal, atau paling tidak obyektif, maka keraguan Berg tentang keaslian pesan tidak dapat diterima. Jika tidak argumen yang menyakinkan dapat diambil, saya menerima pesan yang terdiri atas tanggal-tanggal dari permulaan dan penyelesaian dari Wirataparwa Jawa Kuna sebagai bagian asli dari parwa.
Tetapi mengapa kita menanyakan apa diri kita sendiri, apakah penulis dari parwa khusus mempertimbangkan untuk merekam tanggal-tanggal dalam karyanya? Menurut fakta bahwa Jawa normalnya tidak akan mereppotkan dirinya sendiri tentang kalender tahun sampai lama belum berselang angka rata-rata Jawa tidak mengetahui tahun kelahiran, kita boleh beranggapan bahwa harus ada alasan khusus untuk kebutuhan ini.
Dalam hari dimana seorang penulis adalah seorang abdi dari raja, sebuah perintah dari tuannya untuk menerjemahkan buku hebat sebagai Mahabarata ke dalam Jawa, harus memiliki pandangan sebagai penghormatan tertinggi yang dapat dicita-citakan. Hal ini membutuhkan keberanian yang besar untuk memulai sebuah pertanggungjawaban dan tanpa ada jejak dari beberapa penyelesaian, hal ini membutuhkan usaha untuk memenuhinya. Kesuksesasan dari seorang penulis anonim dari Jawa Kuna Wirataparwa untuk menunjukkan tugas yang sulit diatasi harusnya dianggap sebagai persamaan dengan seorang pejuang yang mengalahkan musuhnya. Lazimnya bagi seorang raja Jawa dari masa lalu yang berhasil menaklukan musuh-musuhnya setelah pertempuran sengit, untuk mengabadikan perbuatan mulianya dengan mengisukan sebuah prasasti untuk memuji tindakan yang berani. Bagi beberapa waktu khusus, penulis prasasti akan merekam dengan teliti tanggal dari issu dari prasasti dan waktu penanggalan khusus isu dengan segera. Dan kita adalah saksi mata dari ratusan prasasti Jawa yang dengan normal mengkhawatirkan sedikit untuk penanggalan yang direkam dengan cakap yang mengandung menit data kalender seperti minggu penta, hexa, hepta dan banyak kalkulasi lainnya , astrologi sama baiknya dengan penanggalan dari kalender India. Penanggalan yang terbentuk dalam Wirataparwa Jawa Kuna adalah sama seperti alam.
Dalam gambaran saran yang memungkinkan sebelumnya yaitu di Jawa, pada saat itu Wirataparwa juga menjadi manggala dari penceritaan Mahabarata. Mungkin hal ini tidak begitu cepat untuk mengajukan penanggalan yang direkam dengan sengaja oleh penulis sendiri untuk mengabadikan prestasi hebat dalam penerjemahan parwa yang pertama ke dalam Jawa Kuna.

Rabu, 25 Februari 2009

book report jawa kuna , interpolasi dan penanggalan uttarakanda

The Dating of the Old Javanese Uttarakanda
s.supomo, Australian National University

Untuk waktu yang lama, sisipan dianggap sebagai semacam penyakit dalam literatur jawa kuno. Sekecil apapun gejalanya, penyunting selalu diharapkan berhati-hati dalam mendekati -sebuah kakawin dan harus cepat memutuskan: bagian-bagian yang dicurigai diletakkan didalam kurung kotak. Bagian yang sakit ini pada umumnya tidak tersentuh karena itu sudah diterima sebagai kebiasaan umum diantara generasi awal peneliti jawa kuno, seperti Kern, Juynboll dan Poerbatjaraka. Itu mungkin disebabkan oleh prasangka buruk terhadap apapun yang dianggap sebagai sisipan bagi murid jawa kuno (yang juga mendapat sanskrit dalam pendidikan mereka dan familiar dengan teori bahwa Uttarakanda adalah edisi terakhir dari teks asli Ramayana Valmiki. Hanya sedikit perhatian pada kerja salinan jawa kuna. Demikianlah meskipun keberadaanya telah diktahui setidaknya dari waktu pengumuman dari laporan Friederich’s di tahun 1849-50. Uttarakanda jawa kuna belum diterbitkan secara menyeluruh. Di lain pihak, sebagian besar adaptasi dari parwa epos Mahabharata yang sampai kepada kita, beberapa bagian dari mereka telah dipublikasikan, dan beberapa bagian dari mereka telah diterjemahkan dan didiskusikan.

Didalam konteks literatur jawa kuno, pengertian atau paham bahwa uttarakanda adalah sisipan adalah tentu salah. Sanskrit Uttarakanda adalah edisi terakhir dalam Ramayana Valmiki, adalah benar. Karena ketika Uttarakanda diterjemahkan kedalam jawa kuna. Kepada seluruh maksud dan tujuan itu telah menjadi bagian dari epos Valmiki untuk hampir sepuluh abad. Jadi seorang penulis berkata dalam “exordium” Uttarakanda jawa kuna:

Setelah Lengkapura diceritakan oleh bhagawan Valmiki, kemudian dia menggubah akhir dari Ramayana disebut Uttarakanda.

Kenyataanya bahwa penyuntingan dan studi pembelajaran dari Uttarakanda jawa kuno telah diabaikan sangatlah disesalkan jika kita tidak menyadari bahwa pekerjaan itu adalah sumber primer dari cerita Arjunasasrabahu, satu dai empat siklus dari lakon wayang jawa baru. Itu adalah tujuan dari tulisan tersebut untuk memberi beberapa keterangan dalam satu aspek dai Uttarakanda jawa kuno, dengan harapan itu dapat membangkitkan minat pada pekerjaan ini.

1. Didalam manggala atau exordium dari Uttarakanda jawa kuno, kami baca:

Adalah sang pendeta yang sangat unggul…dialah bhagawan Valmiki namanya yang dijadikan sebagai dewa dari segala pujangga, hormatlah sebagai orang yang memberi berkah dalam menggubah cerita Uttarakanda… dan adalah seorang penguasa dunia di pulau jawa…dialah Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama namanya, akan memberi berrkah perlindungan pertolongan dalam penulisan cerita Ramayana.

Dari kutipan diatas , jelaslah bahwa penulis tanpa nama Uttarakanda jawa kuna memilih Balmiki, itu untuk menyebut Valmiki, penulis cerita kuno epos Ramayana dan Dharmawangsa Teguh Anantawikrama, seorang penguasa dari kerajaan jawa di jawa timur, sebagai pelindungnya.

Seperti dimohon menjadi petunjuk dalam Uttarakanda jawa kuna, nama Dharmawangsa Teguh Anantawikrama juga dimohon sebagai pelindung dalam terjemahan dari tiga terjemahan jawa kuna dari epos Sanskrit lainya, yaitu Adiparwa , Wirataparwa dan Bhismaparwa. Padahal Uttarakanda adalah bagian dari epos Ramayana, parwa ini adalah bagian dari epos Sanskrit terkenal lainya, Mahabharata. Bagian dari tiga parwa ini, enam atau mungkin tujuh parwa jawa kuna juga sampai pada kita (Sabhaparwa, Udyogaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, dan Swargarohanaparwa), tetapi tidak ada nama raja yang disebutkan didalamnya.

Sebelumnya satu dari tujuh kanda dari Ramayana dan Sembilan atau sepuluh dari delapan belas parwa dari Mahabharata telah sampai pada kita. Pertanyaan yang muncul apakah hanya mereka bagian dari epos yang telah diterjemahkan atau disalin kedalam jawa kuna atau apakah hanya mereka yang mampu bertahan dari seluruh terjemahan dari kedua epos?

Sehubungan dengan Mahabharata , Berg berpendapat bahwa seluruh epos telah diterjemahkan kedalam jawa kuna tetapi beberapa parwa dari epos tersebut telah hilang. Pigeaud di lain pihak dengan pendek menjelaskan bahwa idak semua dari delapanbelas buku Mahabharata telah diterjemahkan kedalam prosa jawa. Sayangnya kita tidak mempunyai dokumen sejaman yang digunakan untuk mendebat atau melawan dua pendapat berbeda itu. Dukomen tertua berisi data yang dapat digunakan sebagai titik awal untuk menghasilkan diskusi dalam hal Korawasrama, sebuah risalah atau acuan bertanggal dari abad ke-16, sekitar enam abad setelah terjemahan epos itu sendiri.

Berdasarkan Korawasrama, risalah itu adalah lanjutan dari Dwidasa parwa, yang terdiri dari delapan belas parwa, yaitu : Adhiparwa, Sabhaparwa, Udyogaparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa, Dronaparwa, karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa, Anusasanaparwa, Uttarakanda, Aswamedhaparwa, Mausalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa dan Agastyaparwa.

Seperti catatan Swellenggrebel, nama Dwidasaparwa dalam risalah itu nampaknya digunakan untuk menunjuk Mahabharara. Dia juga membenarkan bahwa wanaparwa dan Asramawasika parwa hilang dari daftar-daftar dan untuk membuat daftar turun temurun dari delapan belas parwa yang mengangkat Mahabharata lengkap. Uttarakanda dan Agastyaparwa ditambahkan.

Seperti naskah dari dua parwa tambahan telah ditemukan dalam korpus dari naskah jawa kuno yang sampai pada kita, disana rupanya terdapat sedikit keraguan bahwa dua karya tersebut masuk dalam daftar sebab pengarang dari Korawasrama kenal akan keduanya. Itu diikuti sebuah perdebatan selanjutnya, bahwa 16 parwa lain yang disebutkan didalam daftar juga bagian dari literature yang masih ada hingga hari itu. Jika dalil itu benar, pendapat pigeaud bahwa tidak semua dari delapan belas buku Mahabharata telah diterjemahkan kedalam prosa jawa nampaknya benar.

Situasinya bagaimanapun juga itu agak rumit, karena sementara tujuh dari tujuhbelas parwa hilang dari koleksi naskah jawa kuno di bermacam-macam perpus. Kedua parwa yang hilang dari daftar adalah bagian dari naskah yang masih ada dalam koleksi. Ini dapat diterjemahkan bahwa parwa-parwa yang masih ada pada saat itu.

Mengingat fakta-fakta ini, yaitu bahwa pengarang dari daftar koramasrama emnambelas dari delapanbelas parwa dari Mahabharata dalam perjalananya dua naskah yang hilang adalah bagian dari naskah yang sampai pada kita, itu artinya bagi saya lebih masuk akal bahwa seluruh epos Mahabharata diterjemahkan kedalam jawa kuno. Tetapi beberapa dari parwa-parwa tersebut hilang seiring berjalanya waktu. Hal itu mungkin patut diperhatikan bahwa beberapa dari parwa yang hilang ini adalah bagian yang menceritakan perang besar dari keluarga Bharata. Mpu sedah dan panuluh, dua pujangga besar selama duabelas abad telah menyusun atau mengarang kakawin yang paling terkenal, Bharatayuddha, yang didasarkan pada perang keluarga Bharata. Hal itu mungkin yang popularitasnya luar biasa besar dan penghargaan yang tinggi kakawin ini dinikmati diantara orang Jawa dan Bali yang mungkin terhapus, membutuhkan untuk menulis kembali beberapa parwa-parwa menjadi subjek yang sama seperti kakawin.

Pada akhirnya, kenyatan bahwa bagian pertama dan terakhir dari parwa-parwa yaitu Adiparwa dan Swargarohanaparwa berturut-turut diterjemahkan kedalam jawa kuna memperkuat argument diatas. Meskipun kita tidak dapat menyatakan dengan pasti parwa mana dalam Mahabharata yang diterjemahkan, karena hanya satu dari mereka yang diberi tanggal, ini lebih mungkin bahwa parwa-parwa diurutkan secara teratur, dari pertama hingga selanjutnya lebih baik daripada dengan acak. Ini selanjutnya meguatkan fakta bahwa Adiparwa, Wirataparwa dan Bhismaparwa semuanya menyebut nama Sri Dharmawangsa Teguh Anantawikrama yang menandakan bahwa parwa tersebut diterjemahkan selama masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Di lain pihak, tidak disebutkan nama Dharmawangsa Teguh atau raja lain dalam Asramawasikaparwa atau Mausalaparwa atau Prasthanika parwa (Swargarohanaparwa, parwa terakhir tidak diumumkan begitu jauh). Apakah tidak disebutkan nama menandakan bahwa parwa-parwa terakhir dalam Mahabharata diterjemahkan selama masa peralihan yang kacau di Jawa Timur (yaitu setelah kematian Teguh th1017 tetapi sebelum Ailangga naik tahta th1035 )adalah pertanyaan yang sangat beresiko untuk dijawab.

Dan saya berpendapat bahwa seluruh Mahabharata diterjemahkan kedalam jawa kuna dan oleh karena itu daftar parwa-parwa dari Mahabharata berdasarkan Korawasrama tidak lengkap. Di lain pihak, menyinggung Uttarakanda dalam daftar dari Dwidasaparwa berdasarkan Korawasrama rupanya untuk menunjukkan bahwa hanya satu kanda jawa kuna dari Ramayana yang diketahui oleh penulis dari Korawasrama. Karena ini cocok dengan fakta bahwa naskah yang ada hanya Uttarakanda adalah satu-satunya bagian Ramayana yang diterjemahkan kedalam bahasa jawa kuna. Dan faktanya adalah dalam jawa kuna kata parwa digunakan untuk menunjukkan prosa secara umum nampaknya menguatkan argument diatas. Seperti pemakaian tidak akan mungkin timbul banyak kanda yang ada sisi demi sisi dengan parwa-parwa baik dari awal.

Karena Uttarakanda adalah terakhir dari tujuh tanda yang terdapat dalam epos Ramayana Valmiki, sedangkan dalam kasus Mahabharata , kita berpendapat bahwa parwa-parwa diterjemahkan dari parwa pertama dan seterusnya. Pertanyaan yang secara alami timbul mengapa bagian akhir dari epos Ramayana terjadi hanya satu-satunya itu dapat dikatakan merupakan pertama dan terakhir, diterjemahkan kedalam jawa kuna.

Bagaimanapun ini tidak akan menjadi masalah, jika membutuhkan muncul untuk menterjemahkan Uttarakanda kedalam jawa kuna, ada sebuah buku yang berhadapan dengan pengembaraan Rama diceritakan dalam enam bagian pertama dari Ramayana Valmiki dengan demikian sesungguhnya dalam keadaan, seperti kakawin, yaitu Ramayana sudah ada lebih dari satu abad ketika salinan dari Uttarakanda dibuat.

Ramayana jawa kuna sebagian besar adaptasi dari Ravanavadha (pembunuhan Ravana). Tujuh abad puisi Sanskrit ditulis oleh Bhatti (disini biasanya ditujukkan untuk Bhattikavya) dan walaupun bagian akhir dari kakawin berbeda dengan Bhattikawya. Berakhir seperti dalam karya Bhattikawya, yakni kembalinya Rama ke Ayodhya setelah kematian Ravana. Mengapa penulis tanpa nama dari Ramayana jawa kuna mengambil model dari karya Bhattikavya dan tidak Ramayana Valmiki, ini tidak jelas dan pertanyaanya mungkin tidak relevan bagi kita mengenai ini.

Satu hal yang jelas bagaimanapun yaitu bahwa adaptasi Bhattikavya menunjukkan bahwa cerita Rama sangat popular di Jawa pada zaman dahulu. Ini juga bukti dari fakta bahwa beberapa bagian dari cerita dilukiskan di candi prambanan , yang dibangun sebelum penulisan Ramayana jawa kuna. Dan dari tulisan dikeluarkan oleh Dyah Balitung ,yang dipublikasikan oleh van Naerssen ini jelas bahwa pertunjukan Ramayana menunjukkan satu dari cirri-ciri favorit dalam peristiwa jawa pada zaman dahulu.

Perkataan yang digunaan dalam tulisan macarita Ramayana. Van Naerssen berdebat bahwa dalam literatur jawa kuna macarita digunakan dalam merasakan penceritaan karya prosa. Jika argument ini benar, kita dapat menarik kesimpulan bahwa versi prosa cerita Rama sudah ada didalam zaman Balitung.

Bagaimanapun, pendapat ini nampaknya tidak didukung adanya bukti. Seperti yang saya katakana sebelumnya, dalam jawa kuna kata parwa yang biasanya digunakan untuk menunjuk karya prosa, terutama dengan isi epos secara umum. Kata carita, dilain pihak, digunakan untuk menunjukkan cerita secara umum. Didalam kutipan diatas dari terjemahan Uttarakanda jawa kuna , untuk contoh, kami membaca ri telas ning Lengkapurakanda cinaritaken de bhagawan Balmiki. Sebagaimana karya valmiki yaitu bukanlah karya prosa, faktanya dimana penulis Uttarakanda jawa kuna harus disadar, cinaritaken dalam kutipan diatas tidak dapat diartikan “diceritakan dalam bentuk prosa”. Kata dasarnya carita ,karena itu dapat digunakan untuk menunjuk Sutasoma dan Arjunawijaya untuk mendukung saya.

Dalam jawa kuna itu nampaknya tidak ada perbedaan dalam penggunaan antara cerita dan katha. Keduanya dapat digunakan untuk menunjuk prosa dan puisi. Dalam bait-bait dari Arjunawijaya, penulis dari Bali faktanya disebut Arjunawijaya, kakawin Arjunawijaya (naskah A) Arjunawijaya katha (naskah D). Dan satu naskah (F) sungguh menyebut cerita.

Apapun kasusnya mungkin frase macarita Ramayana terjadi dalam tulisan diatas menunjukkan polpularitas dari kisah itu diantara orang jawa pada hari itu. Satu dari versi paling terkenal dari cerita Rama adalah Ramayana Valmiki. Epos ini juga mempertimbangkan buku suci dari umat Hindu. Kita boleh beranggapan bahwa orang pada jaman itu harus paham dengan versi dari cerita Rama. Ini menunjukkan bahwa mereka harus tahu cerita Rama setelah ia kembali ke Ayodhya (yang diceritakan kembali dalam Uttarakanda tapi tidak memaksakan tak hadir dari Ramayana kakawin). Ini dapat dimengerti pada saat itu, permintaan untuk sesuatu seperti tambahan untuk kakawin Ramayana timbul, mungkin suatu hari setelah kakawi asli dilupakan. Jadi Uttarakanda jawa kuna hadir untuk membuaat kakawin Ramayana lebih lengkap. Agaknya ini kemudian seperti pengulangan dari asal epos Ramayana disebutkan oleh Valmiki: orang merasa bahwa cerita tidak berakhir dengan pantas tanpa pahlawan kembali ke surga.



Rabu, 18 Februari 2009

Paleografi

Paleografi berasal dari kata Yunani

Palaios(kuna)
grafien(tulisan)

Definisi Paleografi

1. Wilem Van der molen: ilmu yang mempelajari bentuk tulisan
2. Robson, SO: Studi macam-macam tulisan kuna
3. Kamus: Ilmu tulisan kuna

Tugas pokok paleografi adalah meneliti sejarah tulisan untuk dapat melukiskan dan menerangkan perubahan-perubahan bentuk tulisan dari masa ke masa. Peran lain dari paleografi adalah sebagai ilmu bantu untuk beberapa ilmu lain seperti: epigrafi,sejarah,filologi,dll.
Fungsinya adalah untuk membaca teks-teks kuna, memberi tanggal dokumen yang tidak bertanggal, menjelaskan terjadinya penyimpangan tertentu dalam prosess penyalinan naskah atau teks.

Tujuan paleografi ada 2 (Niermeyer, 1974:47):

1. Menjabarkan tulisan-tulisan kuna karena beberapa tulisan kuna sangat sulit dibaca.
2. Menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum tulisanya dan atas dasar itu menentukan waktu dan tempat terjadinya tulisan tertentu.Hal itu penting untuk mempelajari tulisan tangan karya sastra yang biasanya tidak menyebutkan bilamana dan dimana suatu karya sastra ditulis, serta siapa pengarangnya (perlu juga diperhatikan ciri-ciri lain seperti panjang dan jarak baris, bahan naskah, ukuran, tinta, dll.

Sejarah Tulisan, definisi tulisan atau aksara

1. Tanda gambar atau garis yang digunakan untuk deskriptik sistematik bahasa lisan
2. Simbol untuk mengemukakan makna, ide, logika
3. Lambang bahasa lisan yang diwujudkan dalam bentuk visual dengan wujud tertentu yang dapat dirangkaikan menurut sistem tertentu sehingga menjadi tulisan yang bermakna.
4. Alat komunikasi dan ekspresi ide dan perasaan antara manusia yang sepaham/ memiliki bahasa yang sama.
5. Sarana untuk menyimpan informasi
6. Sistem tanda

Peranan Tulisan

1. Menandai babak peradaban baru yang disebut era tradisi tulis atau tanda sebuah zaman yang lazim disebut masa sejarah manusia (penting sekali dalam sejarah manusia)
2. Dipakai dalam kehidupan sehai-hari dan dalam bidang ilmu pengetahuan

Sejarah Tulisan

Sejauh diketahui sejarah tulisan sekitar tahun 3000 SM (karangan yang masih ada berasal dari zaman itu) ditemukan di timur tengah tepatnya di Mesopotamia Mesir. Teks tertulis yang lebih muda (tapi masih cukup tua) ditemukan di India 2200 SM, Cina (lebih muda) 1300SM. Endang Sri Hardiati (2002:1) : bahwa aksara tertua berasal dari kurang lebih abad ke 13 sebelum masehi dari Punisia yang berbentuk huruf paku. Huruf ini mungkin prototipe aksara yunani kuno yang digunakan sejak tahun 4000SM. Huruf Punisia ini juga dianggap sekelompok dengan aksara Semit yang berasal dari abad ke 12 SM. Dari kelompok huruf tersebut kemudian muncul huruf Yunani kuno, Syria, Arab, dan Ethiopia.

Secara garis besar aksara dapat dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok

1. Huruf Pictograf yang berbentuk gambar huruf hieroglif Mesir dan huruf cina kuno.
2. Huruf Ideograf yang melambangkan objek, tapi kemudian tidak hanya objek-objek kongkrit. Misalnya huruf Cina.
3. Huruf Silabik melambangkan suku kata, misalnya Pallawa, Dewanagari, Jawa, Arab, dan huruf Jepang.
4. Huruf Fonetik yang masing-masing melambangkan fonem. Misalnya : huruf latin, yunani, rusia, gotik.

Fase Tulisan

1. Fase Pictoidiography : gagasan dalam gambar, tulisan aztec
2. Fase wordsilabis: kata dalam gambar , tulisan Mesir (hieroglif)
3. Fase Pseudoalfabetis : setiap tanda mengandung bunyi vokal, tulisan Cina, Jepang
4. Fase konsonan : 1 tanda mengandung 1 konsonan, tulisan semit (arab)
5. Fase Alfabetis : 1 tanda berarti satu bunyi tulisan, latin, jawa, dll.

Geilb dalam Wilhem Vander Molen (1985:3) hanya mengklasifikasikan dalam 3 perubahan mendasar: yaitu dari tulisan logosilabik melalui tulisan silabik sampai pada tulisan alfabetik

1. Tulisan logosilabik : tulisan yang menggunakan tanda untuk mewakili kata dan suku kata .misalnya : tulisan Mesir kuna hieroglif.
2. Tulisan silabik : merupakan penyederhanaan dari tulisan logosilabik, bukan kata lengkap tapi hanya suku kata saja yang mewakilinya .Misalnya tulisan Ibrani (Hebrew)
3. Tulisan alfabetik : menghadirkan atau mengandung fonim dari barat tulisan Yunani yang untuk pertama kali secara sistematis melengkapi tanda suku katanya dengan tanda vokal. Tulisan jawa sama dengan nenek moyangnya di India masuk kategori alfabetik.

Selasa, 17 Februari 2009

Daftar naskah-naskah kamus

Perpustakaan Kraton Yogyakarta Widya Budaya

W.338 Bausastra Kawi Jarwa,Iss.
D.11 250hlm Bhs Jawa Aks Jawa Prosa Rol 116.01

W.339 Bausastra Kawi-Jarwa; Catetan Candrasengkala
D.16 99 hlm Bhs Jawa Prosa Rol 112.01 (halaman yang terdapat tulisan ada 98 hlm)
Kondisi: masih utuh, masih dapat dibaca, halaman naskah terbuat dari kulit dan tidak bercorak atau bermotif, ditepinya dijahit dengan benang.kertas di dalamnya terdapat watermark. cara menyusun kamus didalam naskah ini memakai garis-garis yang dibentuk tabel.

W.339a Bausastra Kawi-Jarwa, Jilid 1
D.16a 176 hlm Bhs Jawa Aks Jawa Prosa Rol 112.02

W.339b Bausastra Kawi-Jarwa, Jilid 2
D.16b 163 hlm bhs Jawa Aks Jawa Prosa Rol 112.03

W.341 Serat Bausastra Kawi Jarwa
D.37 1059 hlm Bhs Jawa Prosa Rol 104.05 (mungkin ada ralat ,tulisan berakhir pada halaman 1068)
Kondisi: masih utuh, masih dapat dibaca ,pada halaman 1-59 yang bertuliskan aksara jawa,bagian tengah halaman di sayat secara vertikal dengan ukuran 10 cm-19 cm.

W.348 Bausastra Arab-Jawi
D14. 994 halaman Bhs Jawwa Aks Jawa Prosa Rol 112.07

Senin, 16 Februari 2009

Linguistik dan linguis

Linguistik dapat diartikan sebagai Ilmu bahasa.

ilmu bahasa sendiri berasal dari bahasa asing
ilmu:bahasa arab
bahasa:bahasa sanskerta


linguistics (Inggris)
linguistique (Perancis)
ligua (Latin .yang berarti lidah,suara,kata-kata,lafal)
lingvistica (Rumania)
linguistica (Itali)
lingvistika (Rusia)

akhiran: -ics = logy (Inggris)
-ique= logie (Perancis)

bahasawan atau linguis diartikan sebagai orang yang menekuni ilmu bahasa.Di Inggris, istilah linguist dipakai dalam bahasa sehari-hari dengan arti orang yang dapat menggunakan bermacam-macam bahasa.