Kamis, 11 Desember 2008

STUDI FILOLOGI BAGI PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN


STUDI FILOLOGI
BAGI PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN


FILOLOGI DAN KEBUDAYAAN


Berita tentang hasil budaya masa lampau yang terungkap dalam sastra lama dan dapat dibaca dalam peninggalan yang berupa tulisan, yaitu naskah. Karya sastra Nusantara yang pada saat ini tersimpan dalam naskah lama merupakan peninggalan pikiran para leluhur (nenek moyang).


Pengertian Filologi


Filologi adalah suatu pengetahuan tentang sastra, sastra dalam arti yang luas. Adapun wilayah jangkauan studi filologi meliputi aspek ke-bahasaan, kesastraan, dan kebudayaan.


Pengertian Kebudayaan


Kebudayaan adalah kelompok adat-istiadat, pikiran, kepercayaan dan nilai yang turun-temurun dan dipakai oleh masyarakat pada waktu tertentu. Pewarisan kebudayaan itu terjadi lewat bahasa. Oleh karena ruang lingkup kebudayaan itu luas sekali, maka pengertian bahasa tidak hanya meliputi bahasa dalam arti kata yang sempit melainkan segala macam bentuk simbol dan lambang (tarian dan gambar) yang dapat mencatat kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain (van Peursen, 1976 : 143). Jadi, pada dasarnya seluruh kebudayaan merupakan suatu proses belajar yang besar yang menghasilkan bentuk-bentuk baru dengan menimba pengetahuan dan kepandaian dari kebudayaan sebelumnya.
Kebudayaan yang ada sekarang ini dilalui 3 (tiga) tahap, yatu : mistis, ontologis, dan fungsional. Tahap mistis adalah suatu tahap yang skap manusia-nya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya. Tahap ontologism adalah tahap yang sudah melalui tahap mistis, sehingga sikap manusianya sudah secara bebas ingin meneliti segala hal di luar dirinya. Sedangkan tahap fungsional adalah tahap yang berada di atas tahap ontologism, yaitu tahap yang sikap dan alam pikiran manusianya sudah nampak makin modern (van Peursen, 1976 : 18).
Ahli filologi selain akrab dengan bahasa dan sastra juga mengamati jalannya kebudayaan suatu bangsa. Dengan mengkaji isi rekaman tersebut akan tergalilah kebudayaan lama suatu bangsa, tempat berpijaknya kebudayaan yang ada sekarang.


FILOLOGI DAN KEBUDAYAAN NUSANTARA


Bangsa Indonesia boleh berbangga karena memiliki beraneka-ragam bahasa dan sastra daerah sebagai warisan nenek moyang yang tak ternilai harganya. Sastra daerah yang beraneka-ragam itu turut mewarnai khazanah sastra Nusantara dan merupakan alat penunjang untuk memperkaya kesastraan Indonesia pada umumnya.


1. Letak Kepulauan Nusantara


Kepulauan Nusantara terletak di antara 2 (dua) benua, yakni benua Asia dan Australia serta di antara dua samudera, yaitu samudera Hindia dan samudera Pasifik, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa.


2.Aneka Budaya Nusantara Masa Kini


Penghuni kepulauan Nusantara sejak dahulu memiliki berbagai kegiatan dalam berbagai bidang. Karya tulis peninggalan nenek moyang dapat dipelajari untuk memperoleh gambaran kebudayaan pada waktu mereka hidup meskipun tidak lengkap dan tdak menyeluruh.
Kebudayaan Nusantara pada waktu dahulu berada dalam kondisi dan posisi yang belum mapan sehingga mudah menerima pengaruh dari luar. Pertemuan kebudayaan asli dengan kebudayaan lain itu mengakibatkan kebudayaan asli berkembang ke arah kebudayaan pribadi manusia yang penuh hasrat. Sebagai contoh, sesudah kebudayaan Islam datang ke Nusantara terjadilah sinkretisme antara kebudayaan asli, kebudayaan Hindu, dan kebudayaan Islam sebagai yang digambar-kan dalam hikayat Raja-raja Pasai, hikayat Malem Dewa, hikayat Banjar dan Kota Waringin, dan lain-lain.
Kebudayaan Nusantara mengalami perjalanan yang panjang dan dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan yang dikuasai oleh nilai-nilai agama dan kemudian menjalankan kebudayaan Indonesia yang ada sekarang ini.
Orang India datang ke daerah Nusantara dalam 3 (tiga) gelombang, yakni : awal abad ke-4, abad ke-8 sampai ke-9 dan abad ke-11. Orang-orang India itu membawa agama Hindu dan Budha serta kebudayaan dari tanah asalnya. Kedatangan kebudayaan India kelihatan membawa perubahan yang besar dalam masyarakat Nusantara, antara lain bangkitnya kerajaan-kerajaan besar di bawah pimpinan raja-raja penjelmaan dewa Wisnu atau Syiwa, istana raja menjadi pusat politik, ekonomi, agama dan seni, masyarakat menjadi bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan dalam agama Hindu.
Agama Islam datang ke daerah kebudayaan Nusantara pada abad ke-13 dibawa oleh pedagang-pedagang India yang kebanyakan pengikut pelbagai terekat seperti Qadiriyah, Naosyabandiyah dan beberapa tarekat kecil yang berpusat pada seorang syekh atau guru tasawuf. Sesudah kedatangan agama Islam, kedudukan nilai agama dalam struktur kebudayaan Nusantara tetap tinggi. Ketuhanannya termasuk monoteisme, pengakuan terhadap Tuhan yang satu.


3. Sumber Sejarah Kebudayaan Nusantara


Satu ciri asasi dalam kenyataan sejarah bahwa kebudayaan Nusantara itu cenderung berkembang di sepanjang pantai timur Sumatera sampai sepanjang pantai barat Semenanjung Malaka dan di dataran rendah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepercayaan masyarakat Jawa asli disebut animisme. Dua tokoh yang selalu dipuja yaitu Dewi Sri dan Nyai Roro Kidul.
Melalui cerita sejarah dapat diketahui bahwa Hinduisasi mulai berkembang di Jawa pada abad ke-7 dan ke-8 dan berakar kuat baru pada sekitar tahun 930 berkat perpindahan pusat pemerintahan Mataram Watu Galuh ke Jawa Timur pada jaman raja Sindok.
Pada awalnya Hinduisasi hanya dikenal di lingkungan keraton (perkotaan), lambat laun masuk ke desa-desa dan bertemu dengan kebudayaan masyarakat Jawa asli. Sastra Jawa kuno yang tertua adalah Kakawin Ramayana yang ceritanya mirip dengan Ramayana Walmiki diperkrakan berasal dari abad ke-9 sekitar waktu dibangunnya baik candi Borobudur yang bercorak Budha maupun candi Prambanan yang bercorak Hindu-Syiwa.
Sastra Jawa kuno dalam sejarah sastra dan kebudayaan Nusantara mempunyai peranan yang khas, tidak hanya karena tuannya tetapi karena sastra itu mempengaruhi sastra-sastra daerah se-Nusantara. Melalui kesusasteraan Jawa masuklah dalam kesusasteraan Melayu cerita-cerita yang diangkat dari Mahabarata dan Ramayana, misalnya hikayat Pandawa Lebur, hikayat Angkawijaya, hikayat Sri Rama dan lain-lain.
Sejak tahun 500 perdagangan Timur dan Barat melalui selat Malaka sudah ramai, lebih-lebih pada jaman Sriwijaya para pedagang Indonesia telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai Timur Afrika. Tahun 1024 Sriwijaya dikalahkan oleh Colamandala yang menyebabkan kelemahannya.
Pada abad ke-14 timbullah masyarakat Muslim di Malaka yang kemudian pada abad ke-15 Malaka muncul sebagai pusat kerajaan Islam dan pusat kebudayaan. Kedatangan Islam di kepulauan Nusantara merupakan ciri jaman baru dalam sejarah yang dengan tegas membawa rasionalisme dan pengetahuan akliah serta menegaskan suatu sistem masyarakat yang berdasarkan kebebasan orang perorangan, keadilan, dan kemuliaan kepribadian manusia.
Ada beberapa judul naskah Melayu yang semula memakai nama Hindu diubahnya dengan judul yang bernafaskan Islam, kata-kata Arab atau Persi masuk ke dalam karya sastra Melayu, misalnya : Hikayat Marakarma diubah menjadi Hikayat Si Miskin, Hikayat Serangga Bayu diubah menjadi Hikayat Ahmad Muhammad. Abad ke-16 dan ke-17 Aceh mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani (meninggal tahun 1641). Dalam dua abad tersebut telah muncul 4 (empat) orang tokoh ulama yang sangat berpengaruh di kawasan Nusantara, yakni Hamzah Fensuri dengan karyanya antara lain Syair Burung Pingal, Syarab al-Asyikin, Syamsuddin Assamatrani (1630) dengan karyanya antara lain Mirat al-Mukmin, Mirat al-Muhaqoiqin, Nuruddin Arraniri (1658) dengan karyanya antara lain Bustanussalatin, Siratalmustakim, Syifa’ al-Kulub dan Abdurrauf Singkel (1693) dengan karyanya antara lain Dakaik al-Huruf, Mirat al-Tullab.
Ada juga sastra Islam Melayu yang berupa saduran atau terjemahan dari Arab, Parsi atau India, antara lain :
Hikayat para Nabi sebelum Nabi Muhammad, misalnya : Hikayat Anbiya, Hikayat Raja Jumjumah, Hikayat Zakariya.
Hikayat Nabi Muhammad dan para sahabatnya, misalnya : Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Nabi Bercukur.
Legenda Islam, misalnya Hikayat Sama’un, Hikayat Sultan Ibrahim Ibn Adham.
Pahlawan Islam, misalnya : Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Mu-hammad Hanafiah.


4. Filologi sebagai Penggali Budaya Masa Lampau


Filologi mempunyai sasaran kerja yang berupa naskah. Khusus filologi Indonesia naskah-naskah yang perlu ditangani oleh para ahli filologi adalah yang mengandung teks-teks klasik sastra Nusantara.
Sastra lama Indonesia memperlihatkan adanya unsur-unsur kedaerahan yang saling berkaitan dan bergantungan. Selain itu pula interaksi yang terus-menerus antara sastra lisan dan sastra tulisan dalam lingkungan sekawasan Nusantara.
Mempelajari sastra lama tidak saja rapat hubungannya dengan mempelajari sejarah peradaban bangsa pemilik sastra itu, tetapi dapat dikatakan memasuki dan hidup dalam masyarakat pemilik sastra tersebut.


FILOLOGI ALAT EVALUASI DAN SUMBER INSPIRASI PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN


Sastra lama merupakan sumber ilham yang sangat dibutuhkan bagi pengem-bangan kebudayaan. Dengan demikian studi filologi terhadap sastra lama sangat besar bantuannya bagi pengembangan kebudayaan Indonesia.
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk terdapat 3 (tiga) golongan kebudayaan-kebudayaan daerah, kebudayaan umum local dan kebudayaan nasional yang masing-masing mempunyai corak tersendiri. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah saling hubungan antara kebudayaan daerah, kebudayaan umum local, dan kebudayaan nasional.


1. Politik Kebudayaan


Masalah pengembangan kebudayaan Indonesia pada hakikatnya terbatas kepada masalah pengembangan kesenian Indonesia. Adapun ruang lingkup kesenian itu meliputi seni rupa dan seni suara. Di antara cabang seni suara adalah seni sastra. Seni sastra Indonesia yang bersifat daerah banyak macamnya menurut bahasa daerah yang menjadi pengembannya.
Munculnya bahasa Indonesia dan sastra Indonesia adalah hasil pertemuan antar kebudayaan daerah Nusantara dengan pengaruh kebudayaan Eropa modern. Kebudayaan Indonesia didasarkan atas penggunaan bahasa Indonesia yang merupa-kan bahasa baru dan berasal dari bahasa Melayu.
Jadi pada dasarnya kebudayaan Indonesia berbeda dengan kebudayaan daerah meskipun unsur-unsurnya diperkaya oleh berbagai kebudayaan daerah itu dan ditambah berbagai unsur kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia dianggap sebagai kebudayaan yang mengikat dan mempersatukan semua warga negara Indonesia.
Sumbangan sastra daerah pada perkembangan kebudayaan Indonesia mempunyai nilai positif baik ditinjau dari segi kualitatif maupun kuantitatif. Sumber golongan nasional yang terkuat dalam mempengaruhi perkembangan dan pembangunan kebudayaan Indonesia adalah pemerintah RI atau pemerintah pusat. Sumber internasional yang mempengaruhi kebudayaan Indonesia sangat luas lingkungannya karena meliputi seluruh kebudayaan yang ada di dunia luar Indonesia.


2. Peranan Budaya Masa Lampau dalam Pengembangan Kebudayaan


Kebudayaan nasional adalah kebudayaan suatu bangsa sebagai strategi untuk menjamin eksistensi bangsa, mendinamisasikan kehidupan bangsa, membentuk dan mengembangkan kepribadian bangsa dan menata kehidupan bangsa. Untuk itu pendekatan pengembangan kebudayaan nasional Indonesia harus berorientasi kepada :


Sejarah bangsa di masa lampau
Kenyataan-kenyataan sosial budaya masa kini
Cita-cita nasional di masa yang akan datang, yang secara keselurhan pada hakikatnya didasarkan atas visi kebudayaan yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.
Identitas suatu bangsa didasarkan atas kebudayaannya.


3. Filologi sebagai Penggali Inspirasi Pengembangan Kebudayaan


Mengamati sastra lama dalam rangka menggali kebudayaan Indonesia merupakan usaha yang erat hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia. Sastra lama Indonesia yang terdapat di beberapa daerah misalnya : Jawa, Melayu, Sunda, Madura, Bali, Aceh, Makasar dan Bugis adalah merupakan rekaman kebudayaan Indonesia dari kurun jaman silam yang mengandung berbagai lukisan kehidupan, buah pikiran, ajaran budi pekerti, nasehat, hiburan, pantangan dan sebagainya termasuk kehidupan keagamaan mereka pada waktu itu.
Untuk mengungkapkan kembali latar belakang kebudayaan sastra lama diperlukan pengetahuan masa hidupnya dan sejarah penyebarannya. Mempelajari sejarah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan. Ada tiga manfaat yang dapat ditemukan dalam mempelajari sejarah, yaitu : (1) Memberikan pendidikan, (2) Memberikan ilham atau inspirasi, dan (3) Memberikan kesenangan atau pleasure.
Ada sejumlah naskah Nusantara yang mengandung fakta sejarah yang oleh penga-rang sastra lama diolah sedemikian rupa sehingga menjadi suatu sajian yang berupa rekaan yang menarik, misalnya : sejarah Melayu, Hikayat Hang Tuah, Babad Tanah Jawi dan sebagainya.

Filologi di Kawasan Nusantara

Filologi di Kawasan Nusantara






Kawasan Nusantara terbagi dalam banyak kelompok etnis, yang masing-masing memiliki bentuk kebudayaan yang khas, tanpa meninggalkan sifat kekhasan kebudayaan Nusantara. Kekayaan Nusantara akan naskah-naskah lama dibuktikan dengan jumlah koleksinya yang dewasa ini terdapat di berbagai pusat studi kebudayaan Timur pada umumnya.



Naskah Nusantara dan Para Pedagang Barat



Hasrat mengkaji naskah-naskah Nusantara mulai timbul dengan kehadiran bangsa Barat di kawasan ini pada abad ke-16. Pertama-tama yang mengetahui mengenai adanya naskah-naskah lama itu adalah para pedagang. Mereka menilai naskah-naskah itu sebagai barang dagangan yang mendatang-kan untung besar.
Pedagang tersebut mengumpulkan naskah-naskah itu dari perorangan atau dari tempat-tempat yang memiliki koleksi, seperti : pesantren atau kuil-kuil. Kemudian membawanya ke Eropa, menjualnya kepada perorangan atau kepada lembaga-lembaga yang telah memiliki koleksi naskah-naskah lama. Seorang yang dikenal bergerak dalam usaha perdagangan naskah adalah Peter Floris atau Pieter Willamsz.
Di jaman VOC usaha mempelajari bahasa-bahasa Nusantara hampir terbatas pada bahasa Melayu, karena dengan bahasa Melayu mereka sudah dapat berhubungan dengan bangsa pribumi dan bangsa asing yang mengun-jungi kawasan ini, seperti : bangsa India, Cina, Arab dan Eropa lainnya.



Telaah Naskah Nusantara oleh Para Penginjil



Seorang penginjil yang terkenal yang menaruh minat kepada naskah-naskah Melayu adalah Dr. Melchior Leijdecker (1645-1701). Pada tahun 1691 atas perintah Dewan Gereja Belanda, Leijdecker menyusun terjemahan Beibel dalam bahasa Melayu tinggi. Akan tetapi hingga sampai ajalnya, terjemahan itupun belum selesai maka lalu dilanjutkan oleh seorang penginjil lain bernama Petrus van den Vorm (1664-1731). Penginjil lain yang dikenal akrab dengan bahasa dan kesastraan Melayu adalah G.H. Werndly. Dalam karangannya berjudul Maleische Spraakunst, terbit pada tahun 1736 dalam lampirannya yang diberi nama Maleische Boekzaal, dia menyusun daftar naskah-naskah Melayu yang dikenalnya sebanyak 69 naskah.
Usaha pengajaran dan penyebaran alkitab lalu diteruskan oleh Zending dan Bijbelgenootschap. Akan tetapi berhubung dengan berbagai kesulitan, baru pada tahun 1814 lembaga ini dapat mengirim seorang peng-injil Protestan bernama C. Bruckner ke Indonesia dan ditempatkan di Semarang (Swellengrebel, 1974 : 13). Tugasnya adalah menyebarkan alkitab kepada masyarakat Jawa. Terjemahan alkitab Bruckner terbit pada tahun 1831 dalam huruf Jawa. Pada tahun 1842 terbitlah kamus Bruckner berjudul Een klein woordenboek der Hollandische, Engelsche an Javaanacha Talen.
Nederlandsche Bijbelgenootschap (seterusnya disingkat NBG) memiliki kegiatan penting dipandang dari sudut ilmu bahasa (Teeuw, 1973 : 16). Lembaga ini mengharuskan kepada penyiar dan penerjemah alkitab yang akan dikirim ke Indonesia memiliki pendidikan akademik. Dampak ketetapan ini adalah munculnya karangan-karangan ilmiah dari para penginjil mengenai bahasa, sastra dan kebudayaan Nusantara pada umumnya.



Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara



Kajian ahli filologi terhadap naskah-naskah Nusantara bertujuan untuk menyunting, membahas serta menganalisis isinya atau untuk kedua-duanya. Hasil suntingannya pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf aslinya, yaitu huruf Jawa, huruf Pegon atau huruf Jawi dengan disertai pengantar atau pen-dahuluan yang sangat singkat tanpa analisis isinya, misalnya suntingan Ramayana Kakawin oleh H. Kern (1900).
Perkembangan selanjutnya, naskah itu disunting dalam bentuk transli-terasi dalam hurur Latin, misalnya Wrettasantjaja (1849), Ardjoena-Wiwaha (1850) dan Bomakawya (1950). Ketiga-tiganya naskah Jawa kuno oleh R. Th. A. Friederich dan Brata Joeda (1850) oleh Cohen Stuart. Suntingan naskah dengan disertai terjemahannya dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda, merupakan perkembangan filologi selanjutnya. Misalnya : Sang Hyang Kamahayanikan, Oud Javaansche tekst met inleiding, vertaling en aanteekeningan oleh J. Kats (1910) dan Arjuna-Wiwaha oleh Poerbatjaraka (1926).
Pada abad ke-20 muncul terbitan ulangan dari naskah yang pernah di-sunting sebelumnya dengan maksud untuk menyempurnakan, misalnya terbitan sebuah primbon Jawa dari abad ke-16, pertama-tama oleh Cunning (1881) dengan metode diplomatic. Kemudian pada tahun 1921 disunting oleh H. Kraenmer dengan judul Een Javaansche Primbon uit de Zestiende Eeuw, dan pada tahun 1954 diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drew dengan judul yang sama.
Pada abad ke-20 banyak diterbitkan naskah-naskah keagamaan baik naskah Melayu maupun naskah Jawa hingga kandungan isinya dapat dikaji oleh ahli filologi serta selanjutnya mereka menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut.
Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra (barat), misalnya analisis struktur dan minat terhadap naskah Hikayat Sri Rama dikerjakan oleh Achadiati Ikran berjudul Hikayat Sri Rama, Suntingan Naskah disertai Telaah Amanat dan Struktur (1980), berdasarkan analisis struktur dan fungsi terhadap teks Hikayat Hang Tuah dikerjakan oleh Sulastin Sutrisno berjudul Hikayat Hang Tuah.
Dengan telah dikenalinya dan tersedinya suntingan sejumlah naskah-naskah Nusantara, maka kemungkinan menyusun sejarah kesastraan Nusantara atau kesastraan daerah.

Filologi Sebagai Istilah


Filologi Sebagai Istilah




Filologi sudah dipakai semenjak abad ke-3 S.M. oleh sekelompok ahli dari Aleksandria yang kemudian dikenal sebagai ahli filologi. Yang pertama-tama memakainya adalah Erastothenes (Reynolds, 1968:1). Pada waktu itu mereka berusaha mengkaji teks-teks lama yang berasal dari bahasa Yunani. Pengkajian mereka terhadap teks-teks tersebut bertujuan menemukan bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Pada waktu itu mereka menghadapi teks dalam sejumlah besar naskah yang masing-masing menunjukkan bacaan yang berbeda (Varian) bahkan ada yang menunjukkan bacaan yang rusak (korup). Kegiatan pengkajian teks ternyata telah menumbuhkan kesadaran bahwa untuk mengetahui bentuk teks yang asli mereka perlu meneliti naskah-naskah itu untuk mendapatkan naskah yang mendekati teks asli dan naskah yang menyimpang daripadanya. Dari kegiatan itu pula dapat disadari bahwa pengkajian secara mendalam terhadap bahasa dan kebudayaan yang melatarbelakanginya adalah penting. Kegiatan filologi yang menitikberatkan kepada bacaan yang rusak ini kemudian disebut filologi tradisional. Dalam hal ini ahli filologi dengan intuisinya memilih naskah yang memungkinkan penyusunan silsilahnya untuk mendapat bacaan hipotesis yang dipandang asli, atau yang paling dekat dengan aslinya. Kegiatan tersebut pada saat ini dikenal dengan istilah hermeneutik.

Wayang Wong Lakon Gandawardaya


Wayang Wong Lakon Gandawardaya



Wayang wong kemungkinan besar diciptakan oleh sultan Hamengku Buwono I setelah kerajaannya permanen pada tahun 1756. Wayang wong adalah sebuah bentuk pertunjukan besar yang hanya diproduksi beberapa kali selama pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I, antara lain yang pertama menampilkan lakon Gandarawa, kemudian lakon jaya semadi, dan lakon yang ketiga adalah lakon Begawan Endrasampurna. Pergelaran wayang wong dipentaskan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting. Seperti misalnya “Jumenengan Dalem”(upacara penobatan sultan) dan Tumbuk Dalem, yaitu hari ulang tahun sultan yang sangat dihormati. Raja diidentifikasikan dengan Negara, memperingati hari ulang tahunraja memiliki makna yang sama dengan memperingati hari kelahiran kerajaan.
Lakon Gandarawa diselenggarakan untuk memperingati hari penobatan Sultan. Lakon Gandarawa adalah sebuah lakon carangan dari wiracarita Mahabarata, yang menggambarkan perang antara dua orang saudara tiri yaitu Gandawardaya dan Gandakusma, keduanya putera Arjuna yang hadir dari ibu yang berbeda. Ketika mereka dewasa, keduanya mencari sang ayah. Gandakusuma pergi ke keluarga pandawa, sedangkan Gandakusuma ke keluarga korawa. Gandarawa bertemu Arjuna yang akan mengakui Gandarawa sebagai puteranya apabila ia bisa mengalahkan korawa. Sedangkan Gandakusuma yang pergi ke korawa akan diakui sebagai putera arjuna (karna yang menyamar sebagai Arjuna) apabila ia dapat menghancurkan para pandawa. Ketika keduanya bertemu dalam sebuah perang tandng, tak seorang pun yang menang. Akhirnya Semar menceritakan kepada Gandarawa dan Gandakusuma bahwa sesungguhya mereka adalah saudara tiri yang dilahirnkan dari dua isteri Arjuna. Kemudian keduanya berjanji bahwa di kemudian hari yaitu pada Bharatayuda mereka akan melawan para korawa sampai titik darah yang penghabisan.

BAGAIMANA SASTRA JAWA KUNA DIAWETKAN


BAGAIMANA SASTRA JAWA KUNA DIAWETKAN




Teks-teks sastra Jawa Kuna yang sampai pada kita sekarang merupakan salinan yang sebagian besar diawetkan dan dipelihara di Bali. Bahan tulis yang dipakai ialah daun lontar (borassus flabelli-formis). Bentuk asli kata lontar yang mengalami metathesis ialah ron tal, ron ‘daun’ dan tal ‘pohon’. Dalam bahasa Bali Rendah menjadi ental, sedangkan bahasa Bali Tinggi menjadi rontal untuk menunjuk pohonnya.
Daun lontar pertama-tama dikeringkan, lalu direndam dalam air, diluruskan dan dijemur kembali. Daun tersebut lalu digosok dengan batu sampai kulitnya halus dan mengkilap. Di Bali daun lontar yang dilipat sepanjang tulangnya dan kedua belahan luar ditulis catatan singkat tak lebih dari 1 lembar disebut ěmbat-ěmbatan atau katihan. Daun yang lebih awet dan mudah disimpan dengan panjang 40-60 cm dan lebar 3-4 cm disebut lěmpiran. Buku dan kedua sampul yang dihasilkan disebut cakěpan. Kotak kayu yang digunakan untuk menyimpan buku disebut kropakan. Pisau kecil untuk membuat huruf-huruf pada daun lontar disebut pěngutik atau pěngrupak. Dengan pisau ini huruf-huruf digoreskan pada kulit daun lontar yang sudah menyerupai selembar kayu. Sesudah itu kulitnya dioles dengan minyak kemiri (tingkih) meresap ke dalam goresan-goresan yang telah dibuat oleh pӗngutik. Bila kulit kemudian dibersihkan cairan hitam itu tinggal di dalam goresan-goresan dan huruf-huruf tampil dengan jelas pada latar belakang yang berwarna coklat muda. Semua naskah sastra Jawa Kuna diawetkan seperti ini kecuali naskah Kuñjarakarna yang huruf-hurufnya dicat pada kulit daun lontar dengan semacam tinta hitam.
Tulisan-tulisan pada daun lontar tidak begitu awet tidak seperti pada prasasti atau lempengan kuningan. Itulah sebabnya kebanyakan naskah sastra Jawa Kuna paling lama hanya berusia 100-150 tahun. Semua karya yang berasal dari Jawa diawetkan di Bali dan semua salinan Bali itu ditulis di atas bahan dari Bali dan dengan huruf Bali pula. Prasasti tertua ditulis dengan huruf India, bagian terbesar dengan huruf Pallawa, sedangkan sejumlah kecil dengan huruf Pra-nāgarῑ, biarpun mungkin istilah Siddhamatṛka lebih tepat. Sejak tahun 832 muncul tulisan lain yang dipengaruhi tulisan India namun memiliki sifat khas yang tidak ditemukan di luar Jawa. Bentuk tulisan itu disebut tulisan Jawa Kuna dan lambat laun menggantikan semua bentuk huruf lainnya dan tetap dipergunakan di Jawa sampai akhir zaman Hindu Budha. Di lain pihak, kita temukan bahwa tulisan Jawa dan Bali berbeda dengan tulisan Jawa Kuna. Tulisan Bali bisa dikatakan hanya merupakan varian dari tulisan Jawa. Tulisan Bali dan Jawa Modern berpangkal pada sumber yang sama, semacam bentuk tulisan yang telah dipakai di Jawa sebelum hubungan antara Jawa dengan Bali terputus.
Seperti orang Jawa, bila ia berbicara mengenai masa silam sebelum kedatangan agama islam, ia memakai istilah jaman buda atau masa jayanya zaman Budha, demikian pulalah istilah ini juga mereka pergunakan untuk menunjuk tulisan huruf Jawa Kuna. Namun bentuk tulisan itu tidak identik dengan bentuk-bentuk huruf pada prasasti. Pada akhir zaman Hindu-Jawa terdapat sejumlah besar naskah bukan prasasti yang ditulis dengan huruf Jawa Kuna. Di lain pihak, di pulau Bali naskah-naskah kuno yang dibawa ke sana dari Jawa dan yang harus disalin kembali agar dapat diawetkan, pada salah satu tahap dalam proses itu dialihkan ke bentuk tulisan huruf Bali modern. Kumpulan naskah sastra Jawa Kuna dan pertengahan yang kini disimpan di berbagai perpustakaan semuanya berasal dari Bali. Terdapat tiga koleksi utama yaitu di Perpustakaan Nasional di Jakarta (Bataviaas Genootschap van Kunsten en Wetenschappen), di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda dan di Perpustakaan Kirtya di Singaraja (perpustakaan Kirtya Liefrinck-van der Tuuk). Perpustakaan Leiden menduduki tempat pertama koleksi terbanyak khusus karena koleksi lontar dari Lombok dan koleksi warisan dari H.N van der Tuuk. Di Kirtya memiliki keanekaan yang lebih besar mengenai karya sastra Jawa Kuna dan Pertengahan, tetapi umumnya hanya satu salinan setiap karya. Yang dipegang sebagai pedoman umum (tentu saja ada perkecualian) dalam menyalin naskah yakni andaikata ada beberapa naskah dari karya yang sama, hanya naskah yang dianggap terbaik yang disalin. Tujuan pendiri perpustakaan Kirtya adalah membuka kesempatan yang lebih besar bagi orang Bali sendiri untuk menimba dari harta kebudayaannya. Hanya sedikit sekali teks sastra kakawin yang terdapat entah di perpustakaan Leiden atau Jakarta atau dalam kedua-duanya, dan yang salinannya juga tidak terdapat dalam perpustakaan Kirtya dan sejumlah besar kakawin, khususnya yang lebih muda hanya terdapat dalam koleksi Kirtya. Memugar kembali bentuk asli itu sejauh itu mungkin merupakan salah satu tugas utama filologi Jawa Kuna.
Sastra Jawa Kuna tidak bisa bertahan karena bila pada suatu titik dalam sejarah minat terhadap salah satu jenis kesusastraan lenyap sehingga orang-orang pada zaman itu tidak lagi melihat alasan yang kuat untuk menyalin naskah tersebut. Selain itu ada karya-karya yang memang disukai tetapi secara kebetulan tidak dimasukkan ke dalam koleksi yang semi-resmi atau dianggap kurang berbobot untuk diawetkan. Mengenai sastra Jawa Pertengahan, dalam kronik-kronik Bali disebut nama–nama sejumlah kidung yang kini tidak kita miliki lagi dan rupanya sudah hilang. Dalam hal penyalinan naskah terdapat kekurangan dan kesalahan dalam membaca dan menulis kembali teks asli tetapi ini tidak dapat dihindarkan dan semua juru salin di semua negara dan pada setiap abad membuktikan, bahwa mereka juga manusia dan bahwa hasil karya mereka tidak sempurna. Semua jenis kesalahan yang disebut dalam ulasan-ulasan mengenai tema ini – lipografi (dihilangkan sebagian dari teks), haplografi (menulis satu kali yang seharusnya ditulis dua kali) dan segala macam kesalahan lain yang dicatat menurut logat internasional para ahli filologi dapat diterangkan dengan contoh-contoh dari naskah-naskah Jawa.
Para sarjana yang meneliti sastra Jawa Kuna antara lain R. Friederich, H. Kern, H.N van der Tuuk, J.G.H Gunning. Para sarjana yang pernah menerbitkan kembali teks-teks Jawa Kuna antara lain J. Brandes (Nāgarakṛtāgama, Pararaton), H.H Juynboll (ādiparwa, Wirāţaparwa), J.Kats (Sang Hyang Kamahāyanikan), Th. Pigeud (Tantu Panggӗlaran, Nāgarakṛtāgama), R.Ng. Poerbatjaraka (Arjunawiwāha, Calon Arang, Smaradahana, Nītiśāstra, Dewaruci, Nirartha Prakṛta), C.C Berg (Kidung Sunda, Kidung Sundāyana, Kidung Harsawijaya, Rangga Lawe), C.Hooykaas (Tantri Kāmandaka), J.Gonda (Brahmāṇḍapurāna, Agastyaparwa, Bhῑṣmaparwa), Prijohoetomo (Nawaruci), A.Fokker (Wirāţaparwa), E. Van den Berg (Sorāndaka), Prijono (Sri Tañjung), A.Teuw (Hariwangśa), A.Teuw dkk (Śiwarātrikalpa), S.Robson (Wangbang Wideya)

BAHASA JAWA KUNA DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSASTRAAN


BAHASA JAWA KUNA DAN PERTENGAHAN; KAKAWIN DAN KIDUNG; KESUSASTRAAN

Bahasa Jawa Kuno dari abad ke-9 merupakan bentuk tertua Bahasa Jawa yang dalam perkrmbangan waktu mengalami banyak perubahan. Semua dapat kita lihat bila kita membandingkan berbagai karya sastra. Bila kita membandingkan sebuah karya dari abad ke-11, seperti misalnya Arjunawiwāha, dengan salah satu karya akhir abad ke-15, seperti misalnya Śiwarātrikalpa (Lubdhaka). Dalam hal fonetik hampir tidak ada perubahan, perbedaan gramatikal hanya sedikit dan tanpa arti. Maka dari itu, bila kita menamakan sastra abad ke-11 sastra Jawa Kuno, tak ada alasan yang meyakinkan untuk tidak memberikan nama itu kepada karya-karya sastra dari abad ke-15. Namun bila kita membandingkan kedua kakawin yang tersebut di atas dengan sebuah syair yang lain jenisnya, seperti misalnya Kidung Sunda, perbedaan bahasa seketika menonjol. Sering muncul pasangan-pasangan varian, akibat perubahan fonetis. Kita masih memiliki sejumlah karya sastra yang bahasanya mempelihatkan ciri-ciri yang sama seperti tampak di atas tadi, berhubung karyanya pasti ditulis lebih kemudian daripada kakawin-kakawin dari periode klasik yang lebih dahulu, maka pada bentuk bahasa Jawa yang lebih muda itu, diberi nama Bahasa Jawa Pertengahan. Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Modern. Dalam sastra Jawa Kuno terdapat dua macam puisi yang berbeda satu dengan yang lain terutama karena metrumnya, yaitu jenis kakawin dan kidung. Yang pertama menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan yang kedua metrum-metrum asli Jawa atau Indonesia. Dalam bahasanya pun terdapat suatu perbedaan, dalam kakawin dipakai bahasa Jawa Kuno, sedangkan dalam kidung dipakai Jawa Pertengahan. Namun di samping puisi kakawin terdapat juga prosa yang memperlihatkan semua ciri khas bahasa yang dipakai kidung. Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan seoleh-olah menggambarkan suatu perbedaan menurut waktu, seakan-akan Jawa Pertengahan berkembang dari Jawa Kuno. Ini memperkuat kepercayaan bahwa sejarah sastra Jawa jaman dahulu dapat dibagi dalam dura periode, yaitu periode Jawa Kuno den periode Jawa Pertengahan. Sebuah karya yang jelas ditulis dalam Jawa Kuno biasanya dianggap lebih tua daripada karya yang ditulis dalam Bahasa Jawa Pertengahan, dan kaidah ini berguna untuk menyusun suatu kronologi, walaupun relatif. Bahasa seringkali merupakan landasan rapuh untuk menyusun suatu kronologi, dan istilah Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan menjanjikan lebih banyak daripada apa yang dapat diberikan.
Kebanyakan sastra Jawa Kuno kita tidak dapat menentukan kapankarya tersebut ditulis, tetapi mengenai beberapa kakawin kita mempunyai alasan yang kuat untuk menentukan kapan kakawin itu ditulis. Tanggal itu dapat diperkirakan bila kita mempunyai prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja yang sama. Kesulitan bila kita ingin menentukan tanggal penulisan sebuah karya antara lain adalah; menentukan tanggal sangat bergantung pada cara nama raja ditafsirkan, kemudian mencari dan melihat perbedaan linguistis antara kakawin-kakawin dari periode-periode yang berbeda-beda. Namun walaupun kita dapat melihat perbedaan linguistis dan dapat menafsirkan nama raja yang sama, kita masih tidak dapat menentukan waktu karena kakawin sifatnya sangat tradisional. Jelaslah sastra kakawin tidak dapat dikatakan mencerminkan bahasa pada jamannya kerena bahasa kakawin di contek dan dijiplak semirip mungkin dengan aslinya dan itu terjadi dari beberapa abad. Bahkan di Bali ada tradisi lokal menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan abad ke-19.
Jika kita hanya bersandar pada bahasa, kita mungkin akan mengira bahwa sebuah karya jaman Renaissance dengan gaya ala Cicero, ditulis jauh lebih dahulu daripada sebuah karya sejenis periode Latin Arab Pertengahan. Dapat disimpulkan bahwa kurun waktu yang menghasilkan sastra kakawindapat ditulis di Bali, tetapi perlu dicatat bahwa jarang kita temui ungkapan khas Bali. Dalam Jawa Pertengahan, rintangan untuk mengetahui waktu penulisan suatukarya lebih terasa daripada Jawa Kuno.
Bila kita ingin secara garis besar menyusun suatu kronologi bagi sastra kidung, kita terpaksa tidak dapat mengandalkan beberapa patokan yang dalam hal kakawin kadang membuka celah kepastian yang sangat berharga. Di sini kita hanya dapat berpedoman pada bahasanya dan tidak ada satu tanggal pun yang bertalian dengan bentuk bahasa seperti dipakai dalam suatu karya sastra tertentu. Dengan demikian kita hanya dapat bersandar pada beberapa kesan umum saja. Karena pertalian dengan Jawa Kuno menjadi makin renggang, maka bertambah juga bentuk-bentuk gramatikal dan morfologis yang menyimpang dan tidak konsisten, bahkan terdapat ungkapan-ungkapan yang jelas merupakan Balinisme. Itu semua menunjukkan bahwa Jawa Pertengahan meneruskan perjalanannya sendiri dan bahwa jurang yang memisahkan periode Hindu-Jawa di Jawa dari periode Bali yang mengalami Jawanisasi menjadi lebih lebar. Beberapa kakawin dalam Jawa Kuno mungkin lebih muda daripada beberapa kidung dari Jawa Pertengahan. Kebanyakan kidung ditulis di Bali, dan berdasarkan karya-karya yang kita miliki, kita dapat bernalar bahwa semua sastra Jawa Pertengahan yang kita kenal dewasa ini, berasal dari Bali. Namun tidak berarti bahwa puisi kidung mulai ditulis di Bali dan tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit. Maka keberatan utama mengenai istilah Jawa Pertengahan adalah bahwa istilah ini memberi gambaran seolah-olah merupakan suatu bentuk peralihan, semacam jembatan antara Jawa Kuno dan Jawa modern. Dan seperti telah kita lihat kesimpulan tersebut tidak tepat. Bahasa ini dipakai dalam kalangan kraton-kraton di Bali dan untuk sebagian besar ditulis pada suatu waktu ketika hubungan dengan Pulau Jawa praktis terputus, kecuali daerah keci di Jawa Timur di tempat kebudayaan Hindu-Jawa masih dapat bertahan untuk sementara waktu. Tidak masuk akal bahwa bahasa sastra yang waktu itu digunakan di Bali menjadi jembatan antara Jawa Kuno dengan Jawa Modern.
Istilah Jawa Modern puu agak membingungkan. Biasanya istilah ini digunakan untuk menunjuk bahasa yang dipakai dalam Sastra Jawa pada jaman para pujangga (akhir ababd ke-18 atau awal abad ke-19) dan yang tidak berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam puisi Jawa sekarang atau bahasa yang dituturkan di Yogyakarta atau Surakarta dan umumnya diakui sebagai patokan bahasa Jawa halus. Namun banyak sifatnya yang khas kita jumpai jauh lebih dulu. Kita mempunyai dua karya prosa berupa ulasan mengenai agama Islam dan yang mungkin sekali berasal dari daerah pantai utara Jawa. Naskah itu dibawa ke Eropa dan dihadiahkan kepada Universitas Leiden pada tahun 1597. Dengan demikian karya ini, mungkin juga yang lainnya dapat ditentukan berasal dari abad ke-16.
Penelitian kita yang didorong oleh nafsu ingin tahu, menghasilkan suatu kesimpulan yang cukup mengherankan, yaitu; pada saat yang sama, ialah abad ke-16 terdapat Bahasa Jawa Kuno seperti kita jumpai dalam sastra kakawin yang ditulis di Bali berdampingan dengan Jawa Pertengahan seperti nampak dalam sastra kidung di Bali serta Jawa Modern seperti terdapat dalam kedua karya tentang agama Islam. Gaya-gaya regional dalam hal penuturan merupakan suatu faktor penentu dalam pembentukan Jawa Modern, seperti misalnya bahasa daerah pesisir mempengaruhi sastra Islam awal, sedangkan tutur di Jawa Tengah merupakan faktor utama dalam mewujudkan apa yang menjadi bentuk baku bagi Jawa Modern. Suatu ukuran sederhana yang membantu kita untuk mengenal Jawa Modern ialah frekuensi dipergunakannya kata-kata yang berasal dari bahasa Arab.
Keterangan tersebut di atas mengenai terjadinya tiga bentuk bahasa Jawa tidak dapat diterima, karena itu berarti Jawa Pertengahan dan Jawa Modern, dua cabang Jawa Kuno, berkembang dan memperoleh sifat-sifatnya yang khas setelah terpisah dari Jawa Kuno dan lepas satu dan lainnya. Namun suatu penelitian komparatif tidak membenarkan hipotesis tadi.
Dalam pengandaian Jawa Pertengahan dan Jawa Modern baru mulai dibentuk sejak kesatuan dalam kebudayaan Jawa terpecah, maka hanya terbuka dua kemungkinan. Atau keserasian antara kedua bentuk bahasa Jawa itu hanya kebetulan saja terjadi atau yang satu meminjam kata itu dari yang lain. Tetapi melihat jumlah kata yang mirip satu dan lainnya cukup banyak, maka keterangan terakhir tadi hanya dapat dipertahankan jikaantara kedua bentuk linguistis itu terdapat hubungan dan pengaruh timbal balik yang lebih erat. Karena alasan ini hipotesis seoleh-oleh ada dua cabang yang sama sekali terpisah sebaiknya dikesampingkan. Satu-satunya alternatif yang ada adalah sifat-sifat yang dimiki bersama oleh Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Jawa Pertengahan sudah terdapat di pulau Jawa sebelum, dan mungkin jauh sebelum kekuasaan politik Hindu-Jawa lenyap. Jawa Pertengahan digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan jelas berbeda dari bahasa kakawin. Bahasa Jawa Pertengahan merupakan bahasa yang umum dipakai di Jawa semenjak akhir abad ke-10 menurut penanggalan saka, yaitu pada tahun 978-1078. Ini berarti seluruh sastra kakawin kecuali Rāmāyaṇa, ditulis dalam suatu bahasa yang berbeda dari bahasa sehari-hari. Pada periode Hindu-Jawa terdapat suatu bentuk bahasa Jawa yang berbeda dari Bahasa Jawa Kuno yang dipakai dalam kakawin dan juga dalam sastra prosa. Bahasa Jawa nonsastra itu tidak harus bersifat sergam. Bahkan bahasa itu memperlihatkan variasi-variasi regional maupun sosial. Kita memiliki berbagai karya prosa yang karena penyimpangannya dari bahasa Jawa Kuno yang baku memberi kesan seolah-olah ditulis pada suatu masa yang lebih dekat pada kita.

PENGARUH INDIA TERHADAP BAHASA JAWA KUNA; PERANAN BAHASA SANSEKERTA


PENGARUH INDIA TERHADAP BAHASA JAWA KUNA; PERANAN BAHASA SANSEKERTA





Dalam kurun waktu sepuluh abad pertama dalam penanggalan Masehi, bahasa Sansekerta tidak lagi dipakai dalam bahasa pengantar sehari-hari melainkan dipakai untuk kepentingan peribadatan, sastra keagamaan, dan juga lapisan istana. Asal usul dan bentuk bahasa Sansekerta lebih dekat pada bahasa-bahasa pribumi Indo-Arya. Diduga bahwa kata-kata pinjaman dari India yang masuk ke dalam bahasa Jawa Kuna memperlihatkan bentuk bahasa pribumi di India. Dalam Jawa Kuna terdapat segelintir kata India yang bukan berasal dari bahasa Sansekerta. Mungkin kata-kata ini masuk dalam bahasa Jawa Kuna lewat bahasa Sansekerta yang telah menampung kata-kata itu beberapa saat lebih dulu.
Bila mengamati kategori-kategori linguistik yang semula merangkum kata-kata pinjaman dari bahasa Sansekerta, hampir semuanya bersifat kata benda dan kata sifat yang bentuknya tidak dideklinasikan. Kata-kata itu nampak dalam bentuk kata-kata majemuk tetapi bukan konstituen akhir , kata-kata kerja tidak dijumpai dalam bentuk konjugasi tetapi hanya kata sifat kerja dalam bentuk lingga. Kesatuan kata-kata itu diserap dalam bahasa yang menerimanya lalu diperlakukan sebagai kata dasar Jawa kuna dan dapat dilengkapi dengan afiks-afiks Jawa Kuna. Unsur-unsur asing dibaurkan ke dalam bahasa Jawa Kuna sedemikian rupa, sehingga susunan dan sifatnya sebagai bahasa Nusantara tetap utuh. Dalam proses meminjam dan mencangkokkan kata-kata dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, bahasa Sansekerta tidak mengalami perubahan fonetis.
Sastra Sansekerta dijunjung tinggi sebagai sebuah contoh untuk dipelajari dan ditiru dengan memungut kosa kata atau peristilahan yang khas. Memakai kata-kata Sansekerta dianggap suatu tanda bahwa seseorang tidak ketinggalan zaman, mampu menerima pengaruh suatu kebudayaan yang lebih tinggi. Kata-kata Sansekerta banyak diambil untuk menjadi nama orang, organisasi, bangunan atau kesatuan. Para sastrawan juga suka menambahkan kata Sansekerta dalam puisinya untuk memperkaya kosakatanya.
Beberapa kata Sansekerta setelah diserap oleh bahasa Jawa Kuna mengalami perubahan dalam arti. Proses perubahan arti ini berjalan tahap demi tahap. Bila sebuah kata asing telah menjadi bagian tetap dari bahasa penerima, maka kata-kata itu ikut serta dalam kehidupan dan perkembangan bahasa penerimanya. Sebagai contoh yaitu kata hima di India berarti ‘embun, beku, cuaca penuh es, salju’ tetapi karena Pulau Jawa beriklim tropis gejala ini tidak dikenal, maka diartikan ‘kabut’. Perubahan-perubahan semantis dalam kata-kata Sansekerta lebih sering terjadi seimbang dengan berkurangnya pengaruh India terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa. Bahasa Sansekerta yang demikian dalam dan luas mempengaruhi segala peninggalan tertulis dari zaman Jawa Kuna, baik berupa prasasti maupun sastra, adalah bahasa yang dipakai oleh para pujangga dan orang-orang terpelajar. Di Indonesia, prasasti-prasasti Jawa Kuna yang ditemukan kebanyakan bersifat pragmatis, berkaitan dengan dianugerahkannya sebidang tanah untuk maksud keagamaan, pembebasan dari pajak, dsb. Selain itu, sastra Jawa menyerap pengaruh India dengan suatu cara yang jauh lebih bebas, tanpa kehilangan identitasnya sendiri. Ini mungkin bukti bahwa pengaruh India di Jawa lain daripada negeri-negeri yang mengalami Hinduisasi di daratan Asia Tenggara.

SEJARAH DAN PRASEJARAH BAHASA JAWA KUNA


BAHASA JAWA KUNA DAN SASTRANYA
SEJARAH DAN PRASEJARAH BAHASA JAWA KUNA




Pengetahuan sejarah Jawa Kuna berdasarkan piagam-piagam dan prasasti lama yang ditulis diatas batu atau lempeng-lempeng perunggu. Prasasti Sukabumi yang bertanggal 25 Maret tahun 804 merupakan bukti tertua dipakainya bahasa Jawa Kuna. Tanggal ini merupakan tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa Kuna. Jaman sebelum tahun 804 merupakan prasejarah bahasa Jawa Kuna. Ada pendapat bahwa sampai abad ke-9, bahasa Sansekertalah yang dipakai untuk maksud tertentu, bukan bahasa Jawa Kuna.
Prasejarah bahasa Jawa Kuna berdasarkan sumber-sumber bahasa asing dari Tiongkok yaitu antara lain I Ching yang menulis “Laporan Mengenai Agama Budha seperti dipraktekkan di India dan Kepulauan Melayu” dan “ Kenangan akan ulama-ulama terkemuka yang pergi ke ufuk barat untuk mencari hukum” juga karya sastra dari Cina yang ditulis Kao Seng Chuan pada abad ke-6. dalam sumber-sumber dari Cina ada beberapa kutipan yang dianggap relevan bahwa pada masa tersebut orang-orang Cina menerjemahkan teks-teks keagamaan yang berbahasa Jawa Kuna ke dalam bahasa Cina.
Bahasa jawa kuna termasuk rumpun bahasa yang di kenal sebagai bahasa nusantara dan sub bagian rumpun Austronesia, walaupun ada pengaruh yang besar sekali dari unsur-unsur India. ada kebanggaan dari kesusastraan Jawa karena di tengah bahasa-bahasa nusantara, bahasa Jawa menduduki tempat istimewa disebabkan karya sastra-karya sastra berasal dari abad ke-9 dan ke-10. menurut Gonda, puisi Jawa Kuna yang di susun dalam metrum-metrum India(kakawin) mengandung kurang lebih 25% sampai 30% kesatuan kata yang berasal dari sansekerta.da beberapa teori yang menyatakan sumber-sumber pengaruh India dari pedagang-pedagang India yang bercampur dengan penduduk pribumi,kasta ksatria yang datang ke India lalu mengangkat diri sebagai raja,dan para-para ulama atau brahmana atau orang terpelajar dari India yang mempengaruhi kalangan keraton raja-raja pribumi dan kelompok religius tertentu.